2nd T-POMI
2018, 10 Juli
Share berita:

Merunjuk data Food and Agriculture Organization of the United Nations bahwa Indonesia rentan terhadap ketahanan pangan.

Hal ini diungkapkan oleh Dr. Ratno Soetjiptadie, Senior Expatriate Tech Cooperation ASPAC –FAO dalam Diskusi Terbatas yang dilakukan oleh Forum Wartawan Pertanian (FORWATAN) dengan tema, “Produktivitas VS Importasi, Ada Apa?”

Memang, menurut catatan Ratno, FAO juga melakukan riset bahwa dari 7 miliar penduduk dunia, bahwa total petani di dunia hanya 500 juta orang. Tapi di Indonesia sendiri jumlah penduduk terus bertambah sedangkanjumlah petani terus berkurang. Artinya jumlah produksi pangan harus bisa melebihi jumlah penduduk, baru bisa dikatakan aman pangan.

“Jadi seumpama kebutuhan pangan sekitar 100 juta ton, maka pangan yang disediakan harus ada sekitar 150 juta ton. Sedangkan sisanya yang 50 juta ton tersebut untuk persediaan jika ada musim kemarau. Sehingga jika musim kemarau datang jangan menyalahkannya,” tegas Ratno yang juga alumni IPB.

Disisi lain, menurut Ratno, ketahanan pangan (food securities) selama 2015-2080 Indonesia rentan karena Indonesia rentan terhadap perubahan iklim. Banjir, kekeringan, serangan hama, selalu dijadikan kambing hitam gagal pangan. “Kita belum punya perencanaan. Kalau butuhnya 1 juta ton, mustinya produksi 1,5 juta ton sehingga ada stok 0,5 juta ton. Kita belum sampai ke sana,” ujar Ratno.

Selain itu, kata Ratno, rendahnya sentuhan teknologi oleh petani, lantaran minimnya ilmu pengetahuan. Petani tidak dapat mengukur Ph tanah atau obat-obatan apa saja yang tidak boleh digunakan. Kemudian petani tidak bisa memilih benih unggul.

Bahkan, ada petani di Karawang memberikan pupuk pada tanaman padi hinga 1 ton. Petani beranggapan bahwa diberi input 1 kg, maka ada kenaikan produksi. “Akibatnya biaya produksi beras di Indonesia cukup tinggi, dan salah satu kontribusinya dari pembelian pupuk,” terang Ratno.

Baca Juga:  MENKOP UKM LEPAS EKSPOR EDAMAME ANAK PERUSAHAAN PTPN X

Contonya, Ratno menguraikan, biaya produksi beras Indonesia sebesar Rp 5.900 per kilogram (kg), Vietnam Rp 2.300 per kg, Australia Rp 1.800 per kg dan Amerika Serikat Rp 900 per kg. “Sehingga hal yang ditakutkan jika tidak terobosan, Indonesia akan tetap akan menjadi importir beras. Sementara sekitar 40 juta petani padi di Indonesia itu menghidupi penduduk 240 juta jiwa. Hal itu sangatlah riskan,” risau Ratno.

Artinya, Ratno mengingatkan, apabila petani merugi, maka bukan tidak mungkin petani akan beralih profesi. Sehingga siapa yang akan menanam padi.Untuk itu, perlu ada program perbaikan tanah secepatnya atau Soil Amendment Programme (Program Pembugaran Tanah) dengan memperbaiki sifat biologi tanah.

“Selama ini kita hanya memperhatikan sifat fisika dan kimia, sementara aspek biologi tidak pernah dipikirkan. Nenek moyang kita jaman dulu tidak ada pupuk, tapi bisa menanam dan panen. Pada saat intesif mennggunakan pupuk, produksi malah turun atau terjadi gagal panen,” tukas Ratno.

Sehingga, Ratno menyarankan solusinya yaitu harus membangun pertanian harus berkelanjutan, tidak bisa hanya lima tahun. “Ganti pemerintahan, ganti kebijakan. Karena yang bisa menyelematkan negara ini adalah sektor pertanian dan perikanan,” terang Ratno.

Produktivitas Pangan Menurun
Sementara itu, Ketua Kompartemen Tanaman Pangan Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) Yuana Leksana, mengungkapkan, produktivitas jagung meningkat, salah satu kontbusi utama adalah penggunaan teknologi hibrida.

Adapun produktivitas adalah parameter atau refleksi dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian berlanjut mendorong keterlibatan sektor swasta dalam industri benih.

“Keterlibatan industri benih berdampak positif pada rangkaian proses yang sistematis mulai dari kebutuhan pasar, penelitian, produksi benih, pemasaran hingga pendampingan konsumen,” tambah Yuana.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian (Kementan), dalam tiga tahun belakangan produksi padi terus menngkat, namun dari sisi produktivitas menurun. Sedangkan produksi jagung naik, dikarenakan luas panen meningkat, sementara tingat produktivitasnya turun.

Baca Juga:  Mendorong Hasil Perkebunan ke Kanada

Produktivitas padi tahun 2015 sebesar 5,34 ton per hektar, tahun 2016 turun menjadi 5,24 ton per hektar dan tahun 2017 hanya mencapai 5,16 ton per hektar.

Sehingga Yuana mengatakan meskipun pemerintah telah mendorong penggunaan benih bermutu dan varietas unggul melalui subsidi benih. “Anehnya, banyaknya bantuan benih pemerintah, namun dari aspek podukivitas malah menurun,” ujar Yuana.

Contoh, Yuana menyebutkan, varietas padi Ciherang yang dilepas pada tahun 2000, masih mendominasi 30.44 Persen luas tanam padi nasional. Padahal Kementan telah banyak varietas padi dilepas setelahnya yang memiliki potensi hasil lebih tinggi. Misalnya varietas padi Mekongga dan Inpari yang ditanam dalam skala luas.

Untuk itu, pihaknya mendorong penggunaan benih padi hibrida. Teknologi sudah diperkenalkan pada tahun 2001 lewat pelepasan varietas dan diseminasi teknologi Kaji Terap, baik oleh Kementan maupun swasta. “Hibrida sudah terbuki pada jagung karena sekitar 70 persen areal tanam sudah menggunakan hibrida,” jelas Yuana.

Selain itu, lanjut Yuana ketersediaan fasilitas penelitian dan produksi benih di dalam negeri, serta kemitraan penangkaran yang terjalin baik untuk benih jagung.

“ini sudah terbukti, padi hibrida menjadi pilihan di banyak negara Asia, misalkan China, India, Pakistan, Bangladesh, Filipina dan Vietnam,” pungkas Yuana. YIN