Bandung, mediaperkebunan.id – Andaliman merupakan rempah khas dari Sumatera Utara yang dikenal dengan sensasi pedas dan getirnya. Tumbuhan ini termasuk ke dalam keluarga jeruk-jerukan (Rutaceae) dengan bentuk kecil bergerombol mirip buah lada atau merica. Oleh sebab itu andaliman kerap disebut sebagai merica Batak.
Di Sumatera Utara, merica Batak ini tumbuh secara liar di wilayah Bukit Barisan mulai dari Toba Raya, Simalungun, Tapanuli Utara, dan Dairi. Pohonnya mempunyai batang yang ditumbuhi duri dan dapat tumbuh subur pada suhu 15 hingga 18 derajat Celcius di ketinggian antara 1.200-1.500 mdpl. Sayangnya, andaliman masih sulit untuk dibudidayakan selain di wilayah endemiknya.
Namun, Andreas Panjaitan, M.Si yang merupakan seorang petani alumnus Universitas Sumatera Utara (USU) telah berhasil membuktikan bahwa tanaman ini dapat tumbuh dan dibudidayakan berkembang di luar habitat aslinya. Tim Media Perkebunan berkesempatan mengunjungi kebun andaliman milik Andreas Panjaitan di kaki Gunung Patuha, Bandung Selatan.

Selama perjalanan menuju kebun, hamparan kebun teh yang hijau membentang di sepanjang jalan dan menciptakan pemandangan yang memanjakan mata. Perjalanan menuju lokasi tidaklah mudah, medan yang menanjak, berbatu, dan licin membuat tim harus ekstra hati-hati. Namun, semua rasa lelah terbayar saat tiba di kebun dan melihat ribuan pohon merica Batak tumbuh subur di tanah Sunda.
Di kaki Gunung Patuha inilah tempat Andreas berhasil membudidayakan merica Batak di luar wilayah endemiknya, sesuatu yang dulunya dianggap sulit untuk dilakukan. Selain budidaya andaliman, Andreas juga membudidayakan tanaman lain seperti kopi sigarar utang dan alpukat.
Ketertarikan Andreas terhadap andaliman dimulai pada tahun 1996 ketika ia masih menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian. Sebuah artikel koran yang membahas keberhasilan petani dalam membudidayakan merica Batak menarik perhatiannya. Diskusi dengan dosen pembimbingnya semakin memantapkan niatnya untuk mengembangkan budidaya andaliman dengan metode kultur teknis yang lebih baik.
Setelah lulus, Andreas bekerja di sebuah perusahaan perkebunan dan pada tahun 2002 dipindahkan ke Bandung. Baginya, mutasi ini adalah peluang besar untuk meneliti lebih jauh tentang andaliman. Namun, kesibukan kerja membuatnya baru bisa benar-benar fokus pada andaliman setelah memutuskan untuk keluar dari perusahaan pada tahun 2015 dan menjadi petani mandiri di Bandung.
Pada tahun 2016, Andreas akhirnya mendapatkan bibit andaliman dari Pematang Raya, Sumatera Utara, dan membawanya ke Bandung. Dengan metode trial and error, ia mulai menanam tujuh pohon pertama di kaki Gunung Patuha, Bandung Selatan. Tahun berikutnya, ia memperluas budidayanya dengan menanam 350 pohon yang dibawa dari Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Parsoburan, Kabupaten Toba.
“Butuh 8 tahun untuk mewujudkan keinginan saya membudidayakan andaliman. Semua saya pelajari secara otodidak dengan trial and error,” ujar Andreas.

Awalnya, andaliman dikenal sulit dibudidayakan karena hanya tumbuh dengan liar. Para petani dahulu hanya mengandalkan proses alami yakni membiarkan buahnya matang, menebang pohon, lalu membakarnya agar benih dapat tumbuh kembali.
Kemudian Andreas melakukan berbagai teknik budidaya mulai dari biji, stek, hingga cangkok. Setelah bertahun-tahun mencoba, ia menemukan formula hormon yang tepat untuk mempercepat pertumbuhan tanaman melalui metode cangkok. Metode cangkok ini menjadi andalan dalam memperbanyak andaliman secara lebih efisien.
Saat ini ada peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang tertarik untuk meneliti andaliman dari Bandung ini. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat varian baru dari sepuluh varian yang sebelumnya ditemukan di Bukit Barisan, Sumatera Utara. Uniknya, andaliman yang berasal dari Bandung mempunyai rasa getir yang lebih terasa dibandingkan varian yang berasal dari habitat aslinya.
Selain itu, penelitian juga mengungkapkan bahwa varian di tanah sunda ini mempunyai kualitas yang lebih tinggi. Tak hanya itu, dari penelitian diketahui bahwa tidak hanya buahnya yang bermanfaat, tetapi juga daun, batang, dan akarnya yang memiliki sifat antiseptik dan potensi untuk industri farmasi termasuk sebagai anti-aging.
Saat ini Andreas sedang mengembangkan dua varietas andaliman yang dinamai APJ 1 dan APJ 2. Nama varietas itu diambil dari singkatan Andaliman Patuha Juara. Andreas juga bekerja sama dengan BRIN hingga 2026 untuk menjadikan andaliman Bandung di kebunnya sebagai pusat penelitian dan pengembangan di luar wilayah endemiknya.
“Saat ini sudah muncul varian yang baru dan kita akan mengusulkan varietas andaliman Bandung. Dua varietas yang sedang dikembangkan yakni APJ 1 dan APJ 2. Saat ini kami akan mengajukan pelepasan varietas. APJ merupakan singkatan dari Andaliman Patuha Juara karena kita tanam di kaki Gunung Patuha,” terangnya.
Budidaya andaliman di Bandung yang dilakukan Andreas semakin berkembang. Sudah terdapat lebih dari 2.000 pohon yang produktif dan sekitar 5.000 pohon lainnya dalam tahap pertumbuhan. Targetnya, pengembangan hingga 15.000 pohon dapat tercapai dalam waktu dekat.
“Mudah – mudahan tahun ini bisa selesai pengembangan 15.000 pohon dengan bibit cangkok,” harapnya.

Berbeda dengan cara panen tradisional yang cenderung tidak berkelanjutan, budidaya andaliman di Bandung diarahkan ke skala industri dengan sistem perkebunan yang tertata rapi supaya terus berbuah. Andreas bercerita bahwa tumbuhan ini istimewa karena selalu berbunga dan berbuah jika ada tunas yang baru. Menurut Andreas, agar pertumbuhan andalimannya stabil maka harus dilakukan prunning yang baik.
“Tapi kita kan mau arahnya skala industri perkebunan, jadi tanamannya kita tata supaya kontinyu terus berbuah. Istimewanya, ini selalu berbunga dan berbuah kalau ada tunas baru. Jadi supaya bisa stabil itu bagaimana kita melakukan prunningnya,” terangnya.
Melalui kebun milik Andreas ini menunjukan bahwa andaliman tidak hanya tumbuh di tanah Batak tetapi juga tumbuh di tanah Sunda. Dengan inovasi yang terus berkembang, budidaya merica Batak di luar wilayah endemiknya kini dapat menjanjikan masa depan yang cerah bagi industri rempah di Indonesia.
Harapannya andaliman tidak hanya dikenal sebagai rempah khas Batak tetapi juga sebagai komoditas unggulan nasional. Terlebih lagi, harganya di pasaran cukup tinggi berkisar antara Rp150.000 hingga Rp250.000 per kilogram, tergantung pada kualitas dan lokasi penjualannya.