Jakarta, Mediaperkebunan.id
La Nina diperkirakan masih bertahan hingga periode Maret-April-Mei 2021, namun intensitasnya diperkirakan berkurang dari sedang atau moderate menuju lemah. Pada Juli 2021 diperkirakan La Nina telah berakhir. Dodo Gunawan, Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim, Badan Meterologi dan Geofisika menyatakan hal ini.
Maret-April 2021 diperkirakan sebagian besar wilayah Indonesia masih berpotensi mendapatkan curah hujan menengah tinggi (200-500 mm/bulan), sedangkan sebagian besar Papua dan sebagian Sulawesi berpotensi mendapatkan curah hujan kategori tinggi-sangat tinggi ( >500 mm/bulan).
Secara umum Mei 2021 diperkirakan fase transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Bulan Juni-September sebagian besar wilayah Indonesia seperti Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan dan Papua Selatan diperkirakan mendapatkan curah hujan kategori rendah menengah (20-150 mm/bulan).
Dampak La Nina terhadap karet menurut Thomas Wijaya dari Pusat Penelitian Karet Indonesia adalah terganggunya pembungaan sehingga produksi biji akan berkurang. Kebun sumber benih karet menggunakan biji sebagai batang bawah sehingga kapasitas produksi akan berkurang.
Hari sadap berkurang sehingga produksi karet bisa berkurang. La Nina tahun 2009 kehilangan hari sadap karena hujan adalah 7 hari sedang tahun 2010 16 hari. Perkiraan kehilangan hasil akibat hari sadap berkurang 9 hari adalah 90 kg/ha. Tahun 2010 juga diikuti dengan serangan gugur daun yang disebakan Colletotrichum yang membuat produksi stagnan 3-4 bulan.
Selain itu perlu kewaspadaan pada penyakit gugur daun pestalotiopsis. Karena masih ada La Nina sampai bulan Juni maka hal ini harus diperhatikan. Serangan berat pestalotiopsis berupa gugur daun terjadi tahun 2017 dengan penurunan produksi mencapai 30%.
Ketika terjadi El Nino tahun 2019 serangan penyakit berkurang drastis. Tahun 2021 dengan anomali La Nina yang tidak ekstrim dilaporkan di Jambi dan Kalimantan Barat tanaman terserang sedang di Sumsel masih dalam kondisi baik.
Sedang dampak El Nino pada tahun 1997 terjadi penurunan produksi sebesar 25% pada semester 2 atau 10% dalam satu tahun. Pertumbuhan Tanaman Belum Menghasilkan juga terhambat, selama 5 bulan kering tidak ada pertumbuhan lilit batang.
Selain itu terjadi risiko kebakaran kebun karena tanaman karet sangat sensitif terhadap api. Observasi di lapangan menunjukkan udara panas dapat mematikan tanaman karet. Tanpa indikasi batang hangus tanaman karet bisa mati. Karena itu perlu satgas pencegahan kebakaran kebun.
Upaya mengatasi La Nina dan El Nino adalah menanam klon karet yang sesuai dengan agroklimat setempat. Klon yang dianjurkan untuk iklim basah adalah RRIC 100, BPM 1, IRR 118, PB 260. Iklim sedang BPM 24, BPM 107, PB 217, PB 260, BPM 109, PR 255, PR 261, Avros 2037, BPM 1, PB 330, RRIC 100. Iklim kering BP 260, IRR 118, BPM 1.
Perusahaan perkebunan karet atau Gapoktan yang cukup besar harus selalu memonitoring iklim juga melakukan update prediksi El Nino/La Nina melalui situs BKMG. Monitoring iklim dulu dengan stasiun klimatologi mahal yang harus dipantau berkala, sekarang ada teknologi yang relatif lebih murah dan bisa real time yaitu automatic weather station. Hal ini penting untuk penyesuain manajemen kebun.
Mengatasi El Nino adalah dengan konservasi air dengan membuat rorak , semakin banyak rorak semakin besar pertambahan lilit batang dan produksi. Tanpa rorak pertambahan lilit batang 1998-2004 8,7 cm sedang kumulatif produksi 1998-2005 15,54 kg/pohon, 100 rorak lilit batang bertambah 10,3 cm produksi 16,08 kg, 150 rorak lilit batang bertambah 11,69 mm produksi 16,8 kg, 200 rorak lilit batang 11,87 cm produksi 17,14 kg, 250 rorak pertambahan lilit batang 13,8 cm produksi 17,95 kg. Selain itu juga membuat irigasi di pembibitan.
Sedang La Nina dengan hujan menyebabkan panel sadap basah sehingga lateks banyak yang tidak masuk ke cup lump dan terbuang. Di Sumsel kehilangan hasil adalah 7 gram/sadap/pohon. Hal ini bisa diatasi dengan rain guard yang membuat lateks masuk ke cup lump dan air yang masuk hanya 20%.