2018, 23 Juli
Share berita:

Ditengah-tengah komitmen pemerintah dalam menggenjot komoditas pertanian, komoditas vanili tidak mau kalah dengan komitmen untuk menaikan kelasnya.

Dilema memang jika melihat kondisi komoditas vanili di Indonesia. Bagaimana tidak, meskipun saat ini Indonesia tercatat sebagai penghasil komoditas vanili nomor dua di dunia setelah Madagaskar, tapi kualitasnya masih belum maksimal.

Padahal Indonesia pernah menjadi produsen vanili terbesar di dunia tahun 2007. Namun, harga yang tak pasti dan kualitas vanili yang tak seragam membuat posisi itu kini tergeser. Budidaya vanili memang sulit. Tanaman yang sensitif ini butuh penanganan ekstra dan campur tangan manusia.

Bahkan menurut catatan Data Food & Agriculture Organization (FAO) tahun 2007 menunjukkan, Indonesia adalah produsen vanili terbesar dunia. Total produksinya mencapai 3.700 ton. Madagaskar menjadi produsen terbesar kedua dengan total produksi 2.800 ton. Namun, produksi Indonesia terus menurun dan kini negara di benua Afrika itulah yang jadi produsen vanili terbesar di dunia.

“Jadi jika kondisi vanili sekarang meskipun jumlahnya cukup besar atau nomror dua di dunia tapi kualitas rendah. Ini karena petani masih menggunakan bibit asalan sehingga hasilnya kurang maksimal,” kata H.M Zabidi ketua Forum Vanili Indonesia kepada Media Perkebunan.

Melihat masalah tersebut, Zabidi mengatakan pihaknya saat ini meminta kepada Ditjen Perkebunan dan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO) untuk mengembangkan bibit vanili berkualitas. Alhasil saat ini telah lahir bibit vaili varietas vania 1, vania 2 dan alor.

Bibit-bibit tersebutlah yang saat ini didistribusikan atau disebarluaskan ke petani-petani vanili yang tersebar di Indonesia. “Kita berharap dengan bibit-bibit vanili tersebut bisa memperbaiki kualitas dari vanili tersebut,” harap Zabidi.

Disisi lain, menurut Zabidi, hal yang tidak kala penting untuk diperbaiki yaitu penangangan pasca panen dari tanaman vanili itu sendiri. Sebab proses kematangan vanili seharusnya 8-9 bulan. Tapi fakta dilapangan, tidak sedikit petani yang memanen vanili di usia 3-4 bulan. Padahal dengan terlalu cepat atau tidak pada waktunya memmanen vanili bisa menyebabkan rendahnya kualitas dari vanili tersebut.

Baca Juga:  Instiper Buka Pelatihan Bagi 200 Anak Petani

Padahal, jika seluruh petani sudah bisa melakukan penanganan pasca panen yang seragam, itu bisa membuat nilai jual kepada pelaku olahan meningkat. Namun jika pengolahan pasca panen tidak seragam atau belum semuanya baik justru bisa membuat harga vanili dipasaran bisa menurun.

“Sehingga idealnya kadar air yang baik untuk vanili yaitu 20-30 persen, meskipun sebelum dijemur memang direndam dahulu dengan air panas sebentar saja,” saran Zabidi.

Akan tetapi, lanjut Zabidi, sebelum buah vanili direndam dengan air panas selama 2-3 menit, buah vanili hasil panen dibersihkan dan dicuci agar bersih dari kotoran seperti getah, tanah, dan kotoran lainnya, barulah dijemur.

Penjemuran dilakukan bukan hanya untuk menurunkan kadar air tapi juga untuk pelayuan. Bahkan, kadar air yang tinggi dapat menyebabkan infeksi jamur pada buah menjadi tinggi saat pemeraman dan penyimpanan.

Sedangkan pemeraman dilakukan agar reaksi enzimatis atau proses fermentasi pada buah vanili dapat berjalan dengan optimal. Reaksi enzimatis tersebut sangat mempengaruhi proses pembentukan zat vanilin dari penguraian glukovanlin dalam buah.

Pengeringan dan pemeraman dilakukan secara berselang-seling selama satu minggu sebelum kemudian buah dikeringkan. Pengeringan dilakukan denga menghamparkan buah yang telah dilayukan di atas kain tebal berwarna hitam.

“Sehingga dengan pengolahan pacsa panen yang baik bukan hanya meningkatkan kualitas vanili tapi juga harga jual,” himbau Zabidi.

Terbukti, berdasarkan catatan Zabidi, harga vanili basah bisa mencapai antara Rp 300-500 ribu per kilogram. Sedangkan untuk vanili kering berkisar antara Rp 3-5 juta per kilogram. Artinya jika setiap petani bisa melakukan pasca panen yang baik bukan tidak mungkin keuntungan untuk para petani bisa jauh lebih tinggi lagi.

“Apalgi jika vanili yang dibudidayakan menggunakan pola budidaya organik. Sebab harga ditingkat pasar harga vanili organic jauh lebih tinggi sebesar 15-25 persen dari harga vanili biasa,” terang Zabidi.

Baca Juga:  GAPKI Rehabilitasi Mangrove di Kobar

Disisi lain, Zabidi mengakui, budidaya tanaman vanili yang dilakukan oleh petani belum semuanya dilakukan secara monokultur. Tidak sedikit petani vanili yang menanam vanili melalui tumpang sari dengan tanaman lainnya seperti dengan kakao, kopi, kelapa ataupun lainnya.

Kendati demikian, jika dilakukan secara mono kultur bukan tidak mungkin produksi vanili asal Indonesia akan menjadi yang terbesar di dunia.

“Jadi tanaman vanili jika dibudidayakan secara monokultur maka akan mendapatkan 5 tibu tanaman vanili dalam satu hektar. Tapi jika dilakukan dengan tumpang sari bisa mencapai 2-3 ribu tanaman vanili,” urai Zabidi.

Sementara itu Pengamat Perkebunan, Gamal Nasir berharap, pemerintah bisa pro aktif untuk mendukung peluang pengembangan vanili emngingat saat ini harga sudah mulai membaik setelah beberapa tahun ini harga merangkak.

“Jadi pemerintah harus segera mengembangkan infrastruktur pendukung. Baik dari aspek perbenihan dalam hal penyediaan bahan tanam unggul atau regulasi lainnya terkait jaminan mutu produksi akhir. Karena jika tidak ditangani dengan baik Indonesia akan kehilangan momentum untuk mendapatkan peningkatkan devisa dari ekspor vanili,” himbau Gamal yang juga mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.
Tapi, Gamal meyakini, “bahwa pemerintah telah memiliki rencana terkait pengembangan komoditas vanili tersebut. Sehingga diharapkan bisa dengan segera mengimplementasikannya.” YIN