Jakarta, Mediaperkebunan.id
Benih yang digunakan untuk PSR harus benih benar dan baik , salah satu parameternya adalah mutu genetik selain mutu fisiologis dan fisik. Mutu genetik selama ini hanya berdasarkan rekaman legalitas dokumen sehingga perlu pengawasan kemurnian melalui uji DNA. Saleh Mokhtar, Direktur Perbenihan Ditjen Perkebunan menyatakan hal ini.
“Poin paling penting dari uji DNA adalah memberikan benih terbaik untuk rakyat. Kita ingin bukan sekedar dokumen saja tetapi bisa dibuktikan secara ilmiah. Produsen benih selama benar maka tidak perlu takut,” katanya.
Metodologi uji DNA yang ada sekarang ditawarkan oleh perusahaan Orion Bioscience. Pemerintah tidak menerima begitu saja apa yang disodorkan perusahaan ini karena tidak semua pihak sepakat dengan metodenya.
Karena itu dengan anggaran Kemenristek/BRIN dilakukan uji terap kerjasama Litbang Kementan yaitu BB Biogen, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan dan Orion Bioscience sendiri. Saat ini uji terap dilakukan dengan pengambilan sample di kebun rakyat dengan umur tanaman 1-3 tahun, sedang dalam proses analisis dan nanti untuk kecambah.
Pembiayaan untuk uji DNA tidak bisa menggunakan dana APBN sehingga minta ditanggung BPDPKS. Untuk itu ketentuan uji DNA ini akan dimasukkan dalam konsep revisi Keputusan Menteri Pertanian tentang Pedoman Produksi, Sertifikasi, Peredaran dan Pengawasan Benih Tanaman Kelapa Sawit nomor 321 tahun 2015 dan nomor 76 tahun 2016.
“Dalam rancangannya tidak disebutkan uji DNA tetapi pemerintah bisa melakukan uji tertentu bila diperlukan. Pemerintah harus punya dasar ilmiah yang kuat untuk merubah peraturan. Hasil uji terap menjadi acuan utama. Selain itu perubahan aturan juga merubah SOP penangkar yang selama ini terlalu umum menjadi sangat spesifik. SOP penangkar diatur secara lebih detail sehingga benih siap salur yang dihasilkan lebih bermutu dan memenuhi syarat,” kata Mokhtar lagi.
Dwi Asmono, Ketua Forum Produsen Kecambah Sawit menyatakan uji DNA ini mencakup populasi kelapa sawit yang sangat besar, ada jutaan genom sehingga masuk dalam bioinformatika. “Kami minta sebelum aturan uji DNA diberlakukan pelaku usaha produsen kecambah diizinkan melihat prosedurnya termasuk prosedur sampling. Salah sampling akan menghasilkan salah kesimpulan sehingga aturan ini nanti malah akan menambah kegaduhan,” katanya.
Sistim perbenihan kelapa sawit ada dua subsistem besar yaitu produsen kecambah dan penangkar. Produsen kecambah dari 19 perusahaan, sekitar 7-10 punya litbang yang kuat. Mereka bisa melakukan uji DNA sendiri, mampu membeli alat-alat yang diperlukan dan punya ahli. Uji DNA sudah diterapkan dalam proses produksi kecambah oleh perusahaan-perusahan ini.
Sedang subsistem penangkar sekarang sedang memperjuangkan SOP yang lebih bagus. “Dalam kondisi ini teknologi yang levelnya masih perdebatan tiba-tiba masuk dalam sistem. Teknologi bisa jadi pendorong atau kendala, dalam kasus ini bisa jadi kendala,” katanya.
Esensi PSR adalah peningkatan produktivitas sehingga benih yang digunakan harus legitim, jadi jangan dibawa ke uji DNA. Uji DNA hanya alat saja seperti PCR atau antigen untuk mendeteksi Covid. Sampoerna Agro tempat Dwi menjadi pimpinan sudah melakukan uji DNA sendiri dan biayanya satu sample Rp90.000. Harga jual kecambah saja Rp8000/butir.
Rusbandi , penangkar benih perkebunan menyatakan uji dna menunjukkan bahwa pemerintah tidak percaya dengan sertifikasi oleh Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih. Karena itu proses sertifikasinya yang harus diperbaiki, bukan tiba-tiba melompat ke uji DNA.