Jakarta, Mediaperkebunan.id
Benih sawit illegitim sudah disepakati semua pihak saat ini masih ada dan sangat menganggu pembangunan kelapa sawit. Saat ini PSR sedang berjalan secara masif sehingga keperluan benih sangat tinggi.
“Pemerintah sangat berkepentingan bahwa petani peserta PSR mendapat benih yang benar. Produsen benih menjamim bahwa benihnya benih benar, tetapi setelah keluar dari perusahaan dan berada ditangan penangkar mereka tidak bisa jamin. Karena itu perlu ada mekanisme untuk menjamin bahwa benih sawit yang digunakan benar,” kata Saleh Mokhtar, Direktur Perbenihan, Ditjen Perkebunan.
Benih unggul bisa dideteksi dari genetis, fisiologis dan keragaannya. Saat ini dengan sistim sertifikasi baru bisa dideteksi berdasarkan fisiologis dan keragaannya saja. Padahal benih legitim dan ilegiitim ketika dipembibitan bentuknya sama. Karena itu perlu uji genetis lewat uji DNA.
“Uji DNA ini saya akui masih dalam perdebatan. Belum ada kesepakatan bahwa uji ini perlu. Sesuai SNI Tenera harus 98%, sedang kontaminasi dura maksimal 2% . Sudah ada teknologi mendeteksi bahwa benih itu nantinya bakal jadi tenera atau dura atau pisifera. Masalahnya jadi debatable karena tambahan biaya dan teknologinya hanya dimiliki sebuah perusahaan luar negeri dengan laboratorium di Malaysia,” katanya.
Di dalam negeri sendiri sebenarnya sudah ada 6 perusahaan benih sawit yang bisa melakukan hal yang sama. Demikian juga beberapa balai penelitian Balitbang Kementan dan lembaga penelitian pemerintah. Hanya kapasitasnya kecil. Padahal benih PSR banyak sekali sehingga perlu laboratorium dengan kapasitas besar dan yang punya perusahaan luar negeri ini.
“ Jadi karena laboratorium kita terbatas kita harus percaya pada perusahaan ini karena disini juga yang pegang orang Indonesia. Kalau ada perusahaan lain yang mampu kita silakan. Pemerintah tidak mencari uang tetapi kepentinganya adalah petani mendapat benih yang terjamin mutu dan keasliannya,” kata Saleh.
Selama ini pentingnya uji DNA hanya bersumber dari perusahaan ini saja sehingga banyak pihak yang kurang percaya. Karena itu Saleh minta Kemenristek untuk melakukan uji terap pentingnya uji DNA pada sawit. Kemenristek merespon dan sekarang sedang melakukannya bekerjasama dengan Balitpalma, BB Biogen dan lain-lain.
“Kita menunggu hasil uji terap dari lembaga penelitian pemerintah. Sebagai regulator kita sudah menyiapkan revisi Peraturan Menteri Pertanian yang bisa menjadi pintu masuk dilakukannya uji DNA sawit. Tetapi semuanya masih menunggu hasil uji terap,” katanya.
Malaysia sudah menggunakan ini 7-8 tahun yang lalu sedang Indonesia masih dalam perdebatan. Hasil uji terap lembaga penelitian pemerintah yang akan menjadi dasar bagi direktorat perbenihan dalam mengeluarkan regulasi. Bila ada yang keberatan silakan saja baca hasil kajiannya.
Konsekuensinya adalah pada biaya. Dengan teknik sampling uji DNA maka akan ada kenaikan biaya Rp6000/batang. Ditjenbun sudah minta BPDPKS menanggung biaya uji DNA. BPDPKS sendiri selama ini merupakan perintah Komite Pengarah pasti akan dilakukan.
Produsen benih sendiri diminta terbuka memberikan semua data genetik benih yang dimiliki. “Pemeintah hanya ingin supaya petani mendapat benih yang benar. Penangkar juga manusia bisa saja dia membeli benih 10 tetapi jadinya 100. Jangan sampai petani peserta PSR menanam benih terpelanting yang jatuh dari pohon. Uji DNA merupakan instrumen pengawasan pemerintah untuk mendapatkan mutu benih sesuai yang diinginkan,” katanya.