Jakarta, Mediaperkebunan.id
Peraturan Presiden nomor 98 tahun 2021 tentang Penyelenggaran Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional memberikan pekerjaan baru bagi manajer Pabrik Kelapa Sawit (PKS). “Manajer PKS tidak lagi berkutat meningkatkan rendemen dengan menekan loses tetapi akan ditambah dengan bagaimana menekan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di pabrik,” kata Posma Sinurat, Ketua Bidang PKS P3PI (Perkumpulan Praktisi Profesional Perkebunan Indonesia) pada pada T-POM (Technology & Talent Palm Oil) Conference and Exhibition) yang diselenggarakan P3PI dan Media Perkebunan.
Perpres ini mekanisme kredit karbon diberikan melalui perdagangan dan non perdagangan. Perdagangan meliputi perdagangan izin emisi, yaitu entitas yang mengemisi lebih banyak membeli izin emisi dari yang mengemisi sedikit; offset emisi, entitas yang melakukan aktivitas penurunan emisi dapat menjual kredit karbonnya pada entitas yang memerlukan kredit karbon.
Non perdagangan meliputi carbon tax yang dikenakan pada perusahaan atas kandungan karbon yang dihasilkan: result based payment, pembayaran diberikan pada perusahaan atas hasil penurunan emisi.
Semus perusahaan pengemisi GRK wajib melakukan identifikasi sumber dan jumlah GRK, juga wajib membuat dan melakukan program mitigasi atas GRK. PKS menjadi salah satu sumber GRK di perkebunan kelapa sawit.
“Jadi mulai sekarang pengelola PKS harus memperhatikan emisi gas rumah kaca di pabriknya baik bersumber dari limbah, boiler, genset, air, listik dan lain-lain. Pengelolaan emisi GRK akan menentukan apakah akan jadi penjual atau pembeli dalam mekanisme perdagagan sedang dalam non perdagangan dikenakan pajak karbon atau mendapat pembayaran dari aktivitas penurunan emisi GRK,” katanya.
Untuk mengurangi emisi GRK maka semua orang di PKS harus terlibat mengurangi emisi GRK sebagai kebiasaan harian. Secara praktis adalah memanfaatkan air, uap dan listrik secara efisien.
Masalah yang dihadapi PKS adalah limbah tankos dan limbah cair (POME). Beberapa perusahaan sudah bisa tangani dengan baik sedang perusahaan lain masih menjadi masalah. POME sering jadi masalah non teknis bagi PKS berupa pencemaran lingkungan sehingga didemo masyarakat dan LSM.
PKS juga termasuk yang wajib memasang alat sparing pada kolam limbah yang memonitor kualitas (pH, COD, TSS) dan kuantitas (debit) air limbah yang dibuang ke sungai, sesuai dengan Permen LHK nomor 80 tahun 2019 tentang Pemantauan Kualitas Air Limbah Secara Terus Menerus dan Dalam Jaringan Bagi Usaha dan/atau Kegiatan (Sistim Sparing).
Penanganan perusahaan pada POME saat ini adalah dengan menyalurkan ke kolam limbah dengan proses biologis dan kimia sampai tiga lolam kemudian lewat land aplication disalurkan ke kebun sebagai pupuk; kolam limbah ke sungai; kolam limbah, land aplication dan sungai; Gas ditangkap dikolam pertama kemudian limbah cairnya masuk kolam kedua dan ketiga kemudian dibuang ke sungai.
Dengan upaya seperti itu sering terjadi kolam bocor, kolam overflow, BOD masih tinggi sehingga mencemari lingkungan. Sering mengeluarkan bau menyengat sehingga dikomplain masyarakat. Solusinya adalah teknologi hijau yaitu RT ECO (Remarkable Technology of Electro Coagulation and Oxidation) suatu sistem untuk mengubah POME menjadi air jernih dan solid dengan cara koagulasi dan oksidasi secara elektrik. Solid digunakan kembali sebagai pupuk sedang air jernih digunakan kembali di pabrik.