Jakarta, mediaperkebunan.id – Tingginya harga kelapa saat ini harus jadi momentum memperbaiki kebun kelapa yang rusak karena tidak terurus. “Pemerintah punya program peremajaan dan rehabilitasi tanaman kelapa. Tetapi anggaran negara terbatas sehingga tidak bisa menjangkau sebanyak kebutuhan peremajaan. Dengan naiknya harga kelapa maka petani bisa kembali merawat kebunnya, mengisi slot yang tidak bisa dijangkau pemerintan,” kata Ardi Praptono, Direktur Tanaman Sawit dan Aneka Palma, Ditjen Perkebunan ketika menerima Ikbal Sayuti, anggota Komisi Pertanian dan Perkebunan, DPRD Riau dan Muhaemin Talo, Ketua Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia.
Kelapa sudah masuk sebagai komoditas yang akan didukung pendanaan Badan Pengelola Dana Perkebunan. Saat ini masih dalam proses penyelesaian regulasi yang mengaturnya. Dirjenbun sendiri sudah memasukan usulan untuk peremajaan kelapa rakyat dengan dana BPDP tersebut.
Bagi industri kelapa, kondisi sekarang juga merupakan kesempatan untuk melakukan kemitraan dengan petani. Jadi hubungan perusahaan dengan petani tidak lagi sekedar jual beli kelapa tetapi dalam kemitraan yang saling menguntungkan. Bagi Kementan posisinya adalah bagaimana supaya kesejahteraan petani kelapa terpenuhi.
Ikbal Sayuti menyatakan selama ini karena harga kelapa yang rendah yaitu 1.600-2.500 membuat 70% kebun kelapa di Inhil rusak. Petani tidak punya dana untuk memperbaiki kebunnya. Dengan kebun yang terawat hanya 30% saja mereka senang dengan harga sekarang yaitu R06500-7.000.
Harga tinggi juga membuat insentif bagi petani untuk kembali merawat kebun yang rusak tanpa mendapat bantuan pemerintah. Program pemerintah untuk membantu petani ada tetapi terbatas.
Ikbal yang merupakan putra daerah Inhil tetapi tinggal di Jakarta menyatakan dirinya bisa seperti sekarang , sekolah di Jakarta karena uang dari kelapa. Dulu kebun kelapa dibangun kakeknya 200 ha tanpa alat berat sama sekali. Kebun yang dulu bagus sekarang banyak yang tidak terurus.
Harga kelapa naik dan langka penyebabnya bukan ekspor saja tetapi produksi kelapa turun akibat el nino dan populasi pohon kelapa juga turun akibat tidak dirawat dan alih fungsi. “Banyak kelapa beralih ke sawit karena dapat uangnya lebih cepat, sawit panen setiap 20 hari sedang kelapa 3 bulan,” kata Ikbal.
Muhaemin Talo menyatakan kelangkaan bahan baku industri pengolahan penyebabnya bukan derasnya ekspor tetapi produksi kelapa turun sampai 60%. Dari 15 miliar butir tinggal 5 miliar, diserap masyarakat 1,5 miliar, diekspor 1 miliar sisanya tidak cukup untuk industri yang ada.
Hikmahnya sekarang industri yang terkonsentrasi di Sumatera membeli kelapa ke Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara yang terletak di wilayah Timur Indonesia. Tingginya harga kelapa ini dirasakan merata oleh seluruh petani kelapa Indonesia.
Moratorium pasti akan menurunkan harga kelapa, kalau diberlakukan maka harus ada harga dasar Rp5000/butir sedang harga mengacu pada harna CNO di Roterdam. Dengan harga CNO sekarang USD2650/ton maka kalau ditransmisikan ke harga kelapa Rp8.900/butir.
Sekarang harga kelapa ke industri antara Rp6500-7000/butir berarti masih dibawah harga CNO. Kalau harga CNO turun sehingga harga kelapa jatuh dibawah Rp5000, maka harga dasar yang berlaku. Harga merupakan faktor utama bagi petani.