Bogor, mediaperkebunan.id – Salah satu ancaman terbesar pengembangan kelapa sawit adalah serangan OPT terutama penyakt Ganoderma. Kalau tidak bisa diatasi dalam 15-20 tahun kedepan maka tahun 2060-2070 kelapa sawit di Indonesia bisa sudah tidak ada lagi atau punah Baginda Siagian, Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma, Ditjen Perkebunan menyatakan hal ini pada Talk Show Karantina 2025.
“Ganoderma berkembang biak lewat spora di dalam tanah. Seperti kapal selam yang tidak terlihat dipermukaan tetapi berbahaya , Ganoderma juga tidak kelihatan tetapi tiba-tiba menyebar banyak tanaman kelapa sawit tumbang.” katanya.
Ditjenbun menyerahkan pada ahli untuk mencari cara yang paling efektif dan efisien mengendalikan Ganoderma. Pembiayaan penelitian dilakukan oleh BPDP. Salah satu dukungannya adalah eksplorasi Sumber Daya Genetik ke Tanzania untuk mendapatkan keragaman genetik yang lebih besar dan digunakan untuk pemuliaan. Salah satu hasil pemuliaan diharapkan ada varietas sawit yang lebih tahan terhadap Ganoderma.
Dampak Perubahan Iklim juga tidak bisa diabaikan, menyangkut ketersediaan air dan daya dukung lingkungan. Kombinasi Dampak Perubahan Iklim dan Ganoderma membuat 41% lahan tidak bisa ditanami sawit tahun 2050 dan 100% pada tahun 2100.
Masalah lainnya adalah masih tingginya penggunaan benih sawit ilegitim. Hasil survey di Sumsel sekitar 45% petani rakyat swadaya menggunakan benih ilegitim, sedang Riau sampai 71%. Pemerintah akan berusaha mengatasi kondisi ini.
Sampai 20-30 tahun mendatang,sawit masih menjadi komoditas minyak nabati dunia. USDA memproyeksikan sampai tahun 2045 konsumsi dan produksi minyak sawit lebih besar dari minyak nabati lainnya. Produktivitas sawit/ha lahan lebih besar dari minyak nabati lainnya, menggantikan sawit dengan minya nabati lain membutuhkan lahan lebih besar.
“Pemerintah akan menjaga supaya produktivitas sawit jangan sampai turun. Sekarang permintaan minyak sawit untuk biodesel semakin meningkat. Dalam kondisi produksi stagnan maka kemungkinan ekspor yang akan berkurang,” katanya.
Tahun 2023 produksi CPO 50,36 juta ton, untuk biodiesel 11,7 juta ton, minyak goreng 4,01 juta ton, produk lainnya 8,35 juta ton, total kebutuhan dalam negeri 24,06 juta ton, ekspor 31,17 juta ton. Tahun 2024 produksi CPO 49,05 juta ton, untuk biodiesel 12,53 juta ton, minyak goreng 4,12 juta ton, produk lain 6,93 juta ton , total kebutuhan domestik 25,74 juta ton, ekspor 30,05 juta ton.
Tahun 2025 diperkirakan produksi CPO 50,29 juta ton,kebutuhan biodiesel 14,75 juta ton, kebutuhan minyak goreng 4,15 juta ton, produk lain 6,03 juta ton, total kebutuhan dalam negeri 25,82 juta ton, ekspor 29,33 juta ton. Tahun 2026 diperkirakan produksi CPO 51,13 juta ton, kebutuhan biodiesel 18,99 juta ton, kebutuhan minyak goreng 4,18 juta ton, produk lain 6,29 juta ton, total konsumsi dalam negeri 29,45 juta ton, ekspor tinggal 26,63 juta ton atau terendah sejak tahun 2020.
“Kita butuh produktivitas yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Dengan posisi ini sudah seharusnya Indonesia menjadi penentu harga minyak sawit dunia. Masalahnya produktivitas rata-rata masih 3,52 ton/ha. Sekarang tidak usah muluk-muluk produktivitas naik 7-10 ton/ha, bisa menaikkan 5 ton saja sudah bagus. Kalau produktivitas tidak naik sampao 2045 ekspor minyak sawit Indonesia akan turun,” kata Baginda.

Media Perkebunan dalam hal ini akan mengadakan acara International Symposium Ganoderma (ISGANO) pada tanggal 10-12 Februari 2026 mendatang di Adimulia Hotel, Medan, Sumatera Utara. Tak hanya Ganoderma, ISGANO ketiga kali ini juga akan membahas hama penyakit lain yang mempengaruhi produktivitas tanaman sawit.

