2016, 25 Januari
Share berita:

Ditengah-tengah melemahnya nilai mata uang Rupiah terhadap US Dolar, tidak semua sektor yang mendapatkan dampak negatif. Satu diantaranya pada sektor komoditas perkebunan atau lebih tepatnya pada kakao. Terbukti, saat ini petani kakao merasa happy (senang) karena dari hal tersebut saat ini harga biji kakao rata-rata telah menembus angka diatas Rp 38.000 – 45.000/kg.

Namun, komoditas kakao tidak boleh terlena akan hal tersebut. Harus lebih dipersiapkan gebrakan atau langkah-langkah jika harga kembali normal diangka Rp Rp 26.000 – 30.000/kg. Apalagi saat ini Indonesia ingin menaikan tingkat sebagai penghasil biji kakao terbesar dari posisi ketiga menjadi posisi pertama, mengingat saat ini konsumsi akan cokelat terus meningkat. Untuk itu diperlukan suatu inovasi yang didukung dengan teknologi untuk meningkatkan biji kakao dalam memenuhi kebutuhan konsumsi cokelat.

“Bayangkan saja jika konsumsi cokelat dalam negeri meningkat menjadi 1 kg/kapita/tahun, maka akan menghabiskan 250 ribu ton. Meski begitu angka tersebut masih lebih rendah dari negara maju yang saat ini mencapai 5 kg/kapita/tahun,” urai Misnawi Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) kepada perkebunannews.

Melihat data tersebut, Misnawi mengingatkan, dengan meningkatnya konsumsi cokelat maka hal ini menjadi peluang bagi negara-negara penghasil biji kakao, termasuk Indonesia. Hanya saja yang perlu diingat adalah komitmen bagi semua kalangan mengembangkan produksi biji kakao.

Gunakan Rasional Bukan Emosional
Sebab, sangat disayangkan saat ini para pekebun belum menggunakan akal sehat dalam mengembangkan komoditas perkebunan. Tidak sedikit para pekebun yang masih menggunakan emosional bukan rasional dalam melakukan budidaya perkebunan.

Contoh, berberapa tahun yang lalu disaat harga karet turun kemudian banyak para pekebun yang mengganti tanamannya dengan tanaman kelapa sawit yang dirasa harganya cukup seksi ketimbang harga karet. Namun ternyata saat ini harga kelapa sawit juga mengalami penurunan.

Baca Juga:  Implementasi Benih Bioteknologi, Kunci Resiliensi di Tengah Krisis Pangan

“Padahal komoditas perkebunan tidak bisa jika dilakukan dengan cara emosional sebab tanaman perkebunan adalah tanaman tahunan yang sifatnya jangka panjang sehingga perlu pemikiran yang rasional bukan emosional,” himbau Misnawi.

Lebih lanjut, Misnawi menjelaskan, dengan umur tanaman perkebunan yang mencapai puluhan tahun maka harus benar-benar dipikir secara rasional tanaman apa untuk kedepan atau jangka panjang yang memang diperkirakan baik. Sebab hal ini berbeda dengan tanaman semusim seperti padi, jagung, ataupun yang lainnya.

Tanaman tersebut bisa dilakukan atau ditanam berdasarkan harga yang saat ini sedang tinggi karena yang sifatnya semusim. Hal tersebut berbeda dengan tanaman tahunan jika dilakukan dengan emosional atau dilihat berdasarkan harga yang saat ini sedang tinggi maka pada saat menanam belum lagi berbuah bisa saja semester (6 bulan) berikutnya harga sudah turun. Sebab tanaman perkebunan umumnya paling cepat 2,5 – 3 tahun baru berbuah.

Sehingga jika menanam tanaman perkebunan menggunakan menggunakan emiosional itu sama saja dengan teori mengejar ombak. Artinya kalau berkebun hanya sekedar berkebun tidak akan mendapatkan dari puncak ombak tersebut.

“Tapi jika kita menggunakan akal sehat maka kita akan menunggu hingga ombak tersebut datang sehingga merasakan berada diujung ombak. Sebab harga komoditas perkebunan itu fluktuasi,” terang Misnawi.

Melihat hal tersebut, Misnawi menghimbau, disinilah peran dari para peneliti untuk bisa memngubah atau memberikan pandangan kepada petani kakao untuk lebih berpikir rasional. Artinya disaat harga kakao sedang menurun dan masih berpotensi berpoduksi tinggi atau masih dibawah 25 tahun jangan mengganti dengan tanaman yang lain.

Disisi lain, peneliti juga harus merubah bisa merubah mindset (pola pikir) gemah ripah loh jinawi, tokat kayu kalau di tanam pasti jadi tanaman, itu dahulu. Memang benar jika dahulu menanam apapun tinggal ditanam akan menghasilkan buah yang berlimpah. Sebab saat itu masyarakat menanam dari lahan-lahan yang berasal dari kehutanan yang memang memiliki unsur hara yang tingi.

Baca Juga:  ASPEKPIR, APKASINDO dan SAMADE: Kembalikan Pungutan Kelapa Sawit

Mendongkrak Produksi Melalui Teknologi
Tapi kini jika petani yang menanam kembali kakao dilahan yang sama atau bisa dikatakan tanaman generasi ke dua atau bahkan generasi ketiga maka jika tidak menggunakan teknologi tidaklah heran jika produksinya menurun. Hal itu karena tanaman tersebut membutuhkan unsur hara yang sama sehingga tanaman generasi berikutnya otomatis akan kehilangan unsur hara yang sama yang telah diambil oleh tanaman sebelumnya.

Seharusnya dengan sudah terlalu lama lahan dipakai maka sebaiknya tanaman tersebut berotasi. Seperti metode yang dilakukan oleh petani tanaman pangan. Setelah menanam padi maka berikutnya menanam jagung, kemudian sayur begitu seterusnya. Hal tersebut dilakukan untuk memulihkan unsur hara yang ada didalam tanah. Sebab unsur hara yang diperlukan dari setiap tanaman berbeda-beda, serta untuk memutus siklus dari hama dan penyakit pada wilayah tersebut.

“Hal seperti itu yang belum dilakukan oleh petani perkebunan. Padahal untuk menjaga produktivitas hal tersebut perlu dilakukan,” saran Misnawi.

Sebab, Misnawi mengingatkan, dahulu pada saat pemerintahan Belanda, mereka berbudidaya tanaman perkebunan selalu berpindah-pindah. Dari mulai di tanah Jawa kemudian berpindah ke Sumatera Utara, kemudian berpindah lagi ke Sulawesi dan seterusnya. Konsep inilah yang belum dilakukan.

Namun karena saat ini keterbatasan lahan yang disebabkan dengan bertambahnya jumlah penduduk maka solusinya adalah harus melakukan rotasi atau memberikan input yang seimbang, seperti pupuk. Atau, bisa juga juga dengan menggunakan bahan tanaman yang berproduktivitas tinggi, serta melakukan inovasi untuk tanaman gerenasi berikutnya.

Tujuannya agar input yang didapat untuk tanaman generasi berikutnya cukup memadai. “Sebab kondisi unsur hara yang terkandung pada lahan untuk generasi berikutnya sudah berkurang karena sudah di asup oleh tanaman generasi pertama,” papar Misnawi.

Baca Juga:  Harga Sawit Riau Terus Anjlok

Puslitkoka Luncurkan Kakao Super
Tidak hanya mengedukasi petani, Puslitkoka selaku lembaga penelitian saat ini sudah menyiapkan bibit kakao super. Adanya bibit kakao super karena melilhat saat ini masalah keterbatasan air. Adapun semakin berkurangnya pasokan air yang ada saat ini , karena semakin banyak yang menggunakan air. Kemudian deforstasi sehingga air semakin berkurang.

Bibit kakao super ini dibuat lebih toleran terhadap air dan memiliki perakaran yang lebih kuat dan panjang sehingga bisa menyerap unsur hara yang lebih luas dan kuat sehingga mampi ditanam di lahan kering. “Melalui bibit ini maka diharapkan produksi biji kakao nasional bisa meningkat karena daerah yang minim air bisa ikut berbudidaya kakao,” pungkas Misnawi. YIN

Baca juga : Kelembagaan Petani Kuat Petani Bermartabat