2023, 29 Juli
Share berita:

Dari pemanfaatan sifat totipotensi jadilah potensi bisinis. Sekitar 20 produk pertanian hasil modifikasi genetik telah beredar di pasaran Amerika, Kanada, bahkan Asia Tenggara. Dalam enam tahun ke depan, berbagai perusahaan telah menyiapkan 26 produk lainnya, mulai dari kedelai, jagung, kapas, padi hingga stroberi. Dari yang tahan hama, herbisida, jamur hingga pematangan yang dapat ditunda.

PADA dasarnya prinsip pemuliaan tanaman, baik yang modern melalui penyinaran untuk menghasilkan mutasi maupun pemuliaan tradisional sejak zaman Mendel, adalah sama, yakni pertukaran materi genetik. Baik seleksi tanaman secara konvensional maupun rekayasa genetika, keduanya memanipulasi struktur genetika tanaman untuk mendapatkan kombinasi sifat keturunan (unggul) yang diinginkan.

Bedanya, pada zaman Mendel, kode genetik belum terungkap. Proses pemuliaan dilakukan dengan ”mata tertutup” sehingga sifat-sifat yang tidak diinginkan kembali bermunculan di samping sifat yang diharapkan. Cara konvensional tidak mempunyai ketelitian pemindahan gen. Sedangkan pada new biotechnology pemindahan gen dapat dilakukan lebih presisi dengan bantuan bakteri, khususnya sekarang dengan dikembangkannya metode-metode DNA rekombinan.

Varietas baru

Apa yang ingin dilakukan oleh para ahli genetika ialah memasukkan gen-gen spesifik tunggal ke dalam varietas-varietas tanaman yang bermanfaat. Hal ini akan meliputi dua langkah pokok. Pertama, memperoleh gen-gen tertentu dalam bentuk murni dan dalam jumlah yang berguna. Kedua, menciptakan cara-cara untuk memasukkan gen-gen tersebut ke kromosom-kromosom tanaman, sehingga mereka dapat berfungsi.

Langkah yang pertama bukan lagi menjadi masalah. Dengan teknik DNA rekombinan sekarang, ada kemungkinan untuk menumbuhkan setiap segmen dari setiap DNA pada bakteri. Tidak mudah untuk mengidentifikasi segmen khusus yang bersangkutan di antara koleksi klon. Khususnya untuk mengidentifikasi segmen tertentu yang bersangkutan di antara koleksi klon, apalagi untuk mengidentifikasi gen-gen yang berpengaruh pada sifat-sifat seperti hasil produksi tanaman.

Baca Juga:  SMART Pantau Deforestasi dengan Satelligence

Langkah kedua, memasukkan kembali gen-gen klon ke dalam tanaman juga bukan sesuatu yang mudah. Peneliti menggunakan bakteri Agrobacterium yang dapat menginfeksi tumbuhan dengan lengkungan kecil DNA yang disebut plasmid Ti yang kemudian menempatkan diri sendiri ke dalam kromosom tumbuhan. Agrobacterium merupakan vektor yang siap pakai. Tambahkan saja beberapa gen ke plasmid, oleskan pada sehelai daun, tunggu sampai infeksi terjadi, setelah itu tumbuhkan sebuah tumbuhan baru dari sel-sel daun tadi. Selanjutnya tumbuhan itu akan mewariskan gen baru kepada benih-benihnya.

Rekayasa genetika pada tanaman tumbuh lebih cepat dibandingkan dunia kedokteran. Alasan pertama karena tumbuhan mempunyai sifat totipotensi (setiap potongan organ tumbuhan dapat menjadi tumbuhan yang sempurna). Hal ini tidak dapat terjadi pada hewan, kita tidak dapat menumbuhkan seekor tikus dari potongan kepala atau ekornya. Alasan kedua karena petani merupakan potensi besar bagi varietas-varietas baru yang lebih unggul, sehingga mengundang para pebisnis untuk masuk ke area ini.

Amankah?

Tanaman hasil rekayasa genetika atau sering kita sebut sebagai tanaman transgenik melangkah dari eksperimen laboratorium ke uji lapangan dan akhirnya komersialisasi hampir tanpa hambatan yang berarti. Memang, kadang ada eksperimen yang gagal, tetapi tidak sampai menimbulkan ”kecelakaan.”

Tahun 1989 untuk pertama kalinya uji lapangan dilakukan pada kapas transgenik yang tahan terhadap serangga (Bt cotton) dan pada tahun yang sama dimulai proses pemetaan gen pada tanaman (Plant Genome Project). Pada tahun 1992 sebuah perusahaan penyedia benih memasukkan gen dari kacang Brasil ke kacang kedelai dengan tujuan agar kacang kedelai tersebut lebih sehat dengan mengoreksi defisiensi alami kacang kedelai untuk bahan kimia metionin. Meskipun sedikit, ada orang yang alergi terhadap kacang Brasil dan kacang kedelai transgenik tersebut menimbulkan efek alaergi pada orang yang sama.

Baca Juga:  Gerakkan Ekonomi Rakyat Imbangi Dampak Social Distancing

Perusahaan tersebut menghentikan projek tersebut padahal ratusan ribu orang dapat diselamatkan dari kekurangan gizi tersebut dibandingkan satu atau dua orang saja yang alergi terhadap kedelai tersebut. Dua tahun kemudian untuk pertama kalinya Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) menyetujui pangan transgenik (tomat) yang dapat ditunda proses kematangannya (FLARSAVR Tomatoes). Pada tahun 1999, di Inggris, dengan badan regulasi keamanan produk pangan yang telah kehilangan kepercayaan setelah epidemi ”sapi gila.” Produk hasil rekayasa genetika menjadi perkara besar, padahal di Amerika perkara yang sama telah menjadi biasa pada tiga tahun sebelumnya.

Tanaman hasil rekayasa transgenik dapat menghasilkan prodik lebih banyak dari sumber yang lebih sedikit. Rekayasa tanaman dapat hidup dalam kondisi lingkungan ekstrem akan memperluas daerah pertanian dan mengurangi bahaya kelaparan. Makanan dapat direkayasa supaya lebih lezat dan menyehatkan. Semua jenis tanaman terdiri dari DNA. Ketika Anda mengunyah wortel atau menggigitnya menjadi beberapa potongan kecil, pada dasarnya anda tidak menyadari bahwa anda sedang memakan beberapa gen.

Para penentang rekayasa sebenarnya tidak memiliki alasan yang kuat untuk menentang atau melawan teknologi tersebut. Hanya saja mereka khawatir dan takut terhadap efek samping dari gen asing yang membentuk potongan – potongan DNA yang tidak lazim (alami) di temukan di suatu tanaman. Sebuah jurnal penelitian yang dimuat di salah satu jurnal obat- obatana inggris pada tahun 1996 telah menginformasikan paling tidak beberapa kekhawatiran atau ketakutan tersebut. Di dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa kacang kedelai yang mengandung kacang Brazil dapat memicu alergi pada para konsumen kedelai yang sensitive pada kacang brazil. Karena penemuan itulah jenis kacangtransgenik tidak pernah dipasarkan.

Baca Juga:  Harga Sawit Jambi Rp 2.151 Per Kg

Dari sisi ekonomi kekhawatiran komoditas pertanian hasil rekayasa genetika memberikan ancaman persaingan serius terhadap komoditas serupa yang dihasilkan secara konvensional. Penggunaan tebu transgenik mampu menghasilkan gula dengan kemanisan jauh lebih tinggi daripada gula dari tebu atau bit biasa. Hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran bagi masa depan pabrik-pabrik gula yang menggunakan bahan alami. Begitu juga, produksi minyak goreng canola dari tanaman rapeseeds transgenik dapat berpuluh kali lipat bila dibandingkan dengan produksi dari kelapa atau kelapa sawit sehingga mengancam eksistensi industri minyak goreng konvensional. Di bidang peternakan, enzim yang dihasilkan oleh organisme transgenik dapat memberikan kandungan protein hewani yang lebih tinggi pada pakan ternak sehingga mengancam keberadaan pabrik-pabrik tepung ikan, tepung daging, dan tepung tulang.

Ya, setiap teknologi seperti pisau bermata dua, tetap diperlukan kehati-hatian dalam penggunaanya dengan prosedur yang jelas, tepat dan pengawasan diperlukan dari berbagai pihak.

Dadang Gusyana
Mahasiswa Program Doktor Universitas Pasundan (UNPAS) Bandung