Jakarta, Mediaperkebunan.id
Tahun ini desa organik yang sudah dibentuk Ditjenbun diarahkan untuk memperoleh sertifikat organik. Dengan sertifikasi organik maka produk-produk desa organik ini diakui oleh masyarakat internasional dan memudahkan ekspor. Ardi Praptono, Direktur Perlindungan Perkebunan, Ditjenbun menyatakan hal ini.
“Tahun ini kita fokus pada kelompok tani yang sudah kita bina, tidak lagi menambah kelompok tani baru. Sertfikasi organik akan meningkatkan kelas kelompok tani ini dan menunjukkan bahwa pertanian organik sudah dilaksanakan. Pasar produk organik setiap tahun semakin bertambah dan keuntungannya harga premium,” kata Ardi lagi.
Sertifikasi organik dilaksanakan oleh lembaga sertifikasi organik yang sudah terakreditasi. Bantuan Ditjenbun adalah pembiayaan proses sertifikasinya. Ardi yakin kelompok tani yang dibantu ini lolos sertifikasi organik karena dengan bimbingan Ditjenbun dan dinas perkebunan setempat mereka sudah menerapkan pertanian organik dengan benar.
Visi perkebunan adalah perkebunan yang berkelanjutan. Hal ini sangat berkaitan erat dengan memelihara lingkungan termasuk memberikan input yang tidak merusak lingkungan. Produk perkebunan yang dikonsumsi dalam bentuk segar seperti kopi, teh, pala, lada, mete, permintaan organik cukup tinggi.
Kebijakan pengendalian ramah lingkungan adalah dengan menggunakan agen pengendali hayati. Sekarang sedang bukan hanya diperkebunan tetapi pertanian secara umum adalah produk yang relatif tidak tercemar bahan kimia. Pada perkebunan hal ini dilakukan dengan menggalakkan produk-produk organik.
Di bangun 150 desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan. Hal ini merupakan upaya membangun perkebunan berwawasan lingkungan termasuk memenuhi permintaan pasar terhadap produk perkebunan yang berkualitas, sehat untuk dikonsumsi. Setiap desa pertanian organik diberi input berupa ternak, rumah kompos, alat pencacah dan pembuat kompos. Tujuanya agar input perkebunan terutama pupuk bersifat ramah lingkungan.
Hewan ternak ini kotorannya digunakan untuk pupuk sedang urine bisa jadi pestisida alami. Untuk mengendalikan penyakit maka petani diajari membuat pestisida nabati dari daun-daun tanaman disekitarnya juga agen pengendali hayati.
Secara terpisah, Prof Agus Wahyudi dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Balitbangtan menyatakan berkebun organik biayanya lebih tinggi dari konvensional tetapi manfaatnya juga lebih banyak. Karena itu dalam penjualannya lebih baik bermerek bukan curah, dengan kemasan sehingga ada jaminan, nilai tambah dan tanggung jawab produsen di kemasan itu. Harga bisa ditentukan oleh produsen.
Menjual dalam bentuk komoditas sangat mudah, panen, keringkan setelah memenuhi syarat lempar ke pasar dalam bentuk curah sebagai produk organik tanpa identitas. Harga ditentukan oleh pembeli dan produsen tidak berbuat apa-apa,
“Saya masih melihat produk bersertifikat organik diekspor dalam bentuk curah. Di negara tujuan ekspor baru dikemas, diberi identitas sehingga nilai tambah ada pada pembeli,” katanya.
Pada konsumen rumah tangga, pasar produk organik adalah niche market yang bersedia membayar nilai tambah berupa produk yang sehat dan ramah lingkungan. Tidak setiap orang mampu menghargai ini dan bersedia membayar. Karena itu pasarnya adalah ibu-ibu berpendidikan tinggi dan keluarga mapan karena harganya 50-200% lebih tinggi.
Pasar harus diperhatikan supaya produk organik di Indonesia semakin berkembang. Negara-negara yang produk organiknya berkembang dengan pesat adalah India, Meksiko, Etiopia dan Pilipina. Mereka mengincar pasar yang tumbuh 15%/tahun. Indonesia juga harus ikut lewat gerakan pertanian organik.