Medan, Mediaperkebunan.id
Produksi sawit tahun 2020 umumnya menurun 2-15 % dibanding capaian tahun 2019. Beberapa perkebunan mengalami peningkatan produksi meskipun persentasenya kecil karena ada perbaikan yang dilakukan. Winarna dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menyatakan hal ini.
Faktor kekeringan tahun 2019 di beberapa wilayah mempengaruhi produksi aktual tahun 2020 berupa penurunan BJR, abortus bunga dan gagal tandan. Curah huJan tinggi semester II 2020 dibeberapa wilayah berdampak terhadap penurunan kualitas jalan dan sarana panen. Kondisi ini juga mempengaruhi realisasi pemupukan. Kondisi fruit set tanaman juga belum standar.
Tahun 2021 iklim diperkirakan normal dengan selatan katulistiwa potensi adanya bulan kering dan utara katulistiwa umumnya basah. Meskipun demikian banyak tantangan untuk meningkatan produksi tahun ini. Wilayah iklim basah harus memperhatikan infratruktur jalan dan panen.
Pemupukan tahun 2021 harus memperhatikan waktu aplikasi, kualitas sarana jalan dan mewaspadai pupuk outspec. Pelaksanaan panen harus memperhatikan kualitas sarana jalan dan panen, juga kecukupan tenaga panen.
Masalah lain yang harus diwaspadai fruit set rendah, outbreak HPT, penurunan kualitas tanah sehingga efektivitas dan efisiensi pemupukan rendah. Juga aspek tenaga kerja terutama tenaga panen karena selama pandemi pergerakan orang dibatasi.
Ratnawati Nurkhoiry juga dari PPKS menyatakan tahun 2018 produksi CPO 43, 108 juta ton sedang PKO 4,28 juta ton, tahun 2019 CPO 47,18 juta ton PKO 4,648 juta ton (produksi minyak naik 9,4%), sedang tahun 2020 produksi CPO 47,401 juta ton ton dan PKO 4,548 juta ton (produksi minyak naik 0,5%).
Tahun 2020 ekspor refined turun 15,8% sedang oleokimia naik 17,4%, penyebabnya pandemi Covid-19 menyebabkan permintaan minyak goreng turun sedang oleokimia untuk sabun dan hand sanitizer meningkat. Di dalam negeri sendiri konsumsi untuk pangan (minyak goreng) tahun 2020 turun 16,5%, sedang untuk oleokimia naik 49% dan biodiesel naik 23%.
Total konsumsi hanya naik 1,4% dibandingkan dengan kenaikan tahun 2019 terhadap 2018 24%. Penggunaan biodiesel ini mendongkrak harga CPO. Januari-Oktober 2020 dibanding Januari-Oktober 2019 ekspor kelapa sawit meningkat 13,6%.
Harga tahun 2020 juga cukup mengejutkan karena terus naik. Pandemi menurunkan konsumsi tetapi produksi juga turun akibat kekeringan 2019 sehingga tidak terjadi over suply yang menurunkan harga. Program B30 juga ikut menjaga keseimbangan suply dan demand.
Tahun 2021 produksi diperkirakan meningkat tipis pada kisaran 3% karena beberapa faktor masih menjadi pembatas produksi yaitu dampak kekeringan 2019 masih berimbas sampai 2 tahun kedepan. Pemupukan 2020 dan semester 1 2021 baru akan mempengaruhi hasil tahun 2022.
Faktor pengurang lain adalah kegiatan peremajaan yang tinggi terutama PSR yang ditandai dengan kenaikan permintaan benih siap tanam di kalangan perkebunan rakyat. “PPKS sebagai produsen benih terbesar di Indonesia sendiri saat ini kewalahan memenuhi permintaan PSR ini. Selain itu juga disibukkan dengan bimbingan teknis peremajaan pada petani,” kata Ratna.
Konsumsi domestik masih mengharapkan program B30. Harga CPO diperkirakan masih tetap tinggi sehingga bisa menjadi kendala. PMK 191/2020 yang menyesuaikan tarif pungutan ekspor diharapkan mampu mengatasi hal ini.