Jakarta, Media Perkebunan.id
Pemerintah pada tahun 2021 ini akan membuat terobosan sehingga target PSR 180.000 ha bisa tercapai. Dirjen Perkebunan, Kasdi Subagyono, menyatakan hal ini pada Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi IV DPR-RI dengan Dirjen Perkebunan, Dirjen Perbendaharaan Negara Kemenkeu dan Direktur Utama BPDPKS yang dipimpin oleh Daniel Johan , Wakil Ketua Komisi IV dari PKB, Rabu.
Menurut Kasdi, trend penerbitan rekomtek sebenarnya setiap tahun meningkat. Tahun 2016 254 ha, 2017 2.933 ha, 2018 12.611 ha, 2019 90.207 ha dan 2020 94.248 ha. Tahun 2021 dengan terobosan yang akan dibuat diharapkan akan naik lagi sehingga bisa sesuai dengan target.
Terobosan itu adalah penambahan lembaga surveyor yang selama ini hanya Surveyor Indonesia menjadi beberapa lembaga sehingga jangkauanya bisa lebih banyak. Tugas surveyor adalah mendampingi petani pada proses administrasi pengajuan PSR.
Terobosan lain adalah untuk memberikan alternatif penghasilan sebelum tanaman menghasilkan maka dilakukan tumpang sari dengan tanaman pangan atau tanaman hortikultura. Dirjen Perkebunan akan berkoordinasi dengan Dirjen Tanaman Pangan dan Dirjen Hortikultura supaya kebun sawit petani yang ikut PSR masuk dalam Program Perluasan Areal Tanaman Pangan atau perluasan lahan hortikultura.
“Tanaman sela ini jadi cash crop yang memberikan penghasilan pada petani selama tanaman kelapa sawitnya belum menghasilkan. Perlu waktu 4-5 tahun sampai tanaman menghasilkan,” katanya.
Terobosan lain adalah deteksi benih kelapa sawit supaya sesuai SNI. Dirjenbun akan bekerjasama dengan pihak ketiga yang akan melakukan test DNA pada benih sawit PSR. Jika kontaminasi Dura melebihi 2% sesuai SNI maka tidak memenuhi syarat.
PSR merupakan solusi untuk mengurangi ketimpangan produktivitas yang luar biasa antara perusahaan dengan petani swadaya. Petani swadaya saat ini rata-rata hanya 10 ton TBS/ha/tahun atau 3 ton minyak sehingga kesejahteraannya sulit meningkat. Padahal dengan varietas unggul yang ada sekarang bisa ditingkatkan jadi 25-30 ton TBS atau 5-6 ton CPO.
Hibah BPDPKS Rp30 juta/ha memang tidak cukup hanya sampai P0 saja sedang biaya total P0-TM2 Rp60 juta. Kekurangan biaya diharapkan dari Kredit Usaha Rakyat Kelompok. Selain itu dana Sarana Prasarana sudah bisa diajukan tahun ini untuk pemeliharaan kebun sawit.
Pendekatan PSR adalah kelompok tani sehingga petani kelapa sawit swadaya bisa bergabung dalam kelompok. “Tugas kami saat ini adalah menerbitkan percepatan rekomtek sehingga transfer dana ke kelompok tani bisa dipercepat. Kalau ada delay juga diharapkan tidak terlalu panjang,” kata Kasdi.
Meskipun sudah tidak masuk dalam persyaratan PSR, Ditjenbun bersama dinas perkebunan kabupaten dan provinsi saat ini sedang bekerja supaya semua petani peserta mendapat STDB. “STDB ini penting untuk tracebility. Petani yang sudah mendapat STDB harga TBSnya pasti lebih tinggi karena bisa masuk dalam tracebility,” kata Kasdi.
Sedang kebun sawit rakyat di kawasan hutan, Dirjenbun akan berkoodinasi dengan KLHK supaya dikeluarkan dari kawasan hutan. Usulan supaya masuk dalam masuk dalam perhutanan sosial ternyata tidak bisa diakomodasi karena salah satu ketentuannya tidak boleh menanam kelapa sawit.