Jakarta, mediaperkebunan.id – Memang sustainability berangkat dari permintaan pasar, tetapi ini juga bisa menjadi sebuah kesempatan bagi pelaku industri kelapa sawit untuk terus berinovasi menjadi jauh lebih baik lagi dari yang sekarang memang sudah baik. Sebab pasar akan jalan terus dan akan terus membesar.
“Kita perlu menyikapi sustainability dengan tindakan dan keterbukaan pandangan bahwa ini bisa menjadi alat dan tolok ukur dalam memperbaiki produktivitas dan efisiensi operasional perusahaan, kita tidak bisa lari atau sembunyi dari permintaan pasar sebab jika tidak dihadapi maka pasar tersebut akan diambil oleh produsen lain yang lebih gencar dalam memenuhinya,” papar Desi Kusumadewi, Head of Sustainability IFFCO (International Foodstuff Company) Group.
Meski begitu, Desi mengakui, bahwa saat ini pemerintah maupun pelaku perkebunan kelapa sawit sudah banyak mengambil tindakan nyata dengan banyaknya perbaikan-perbaikan yang sudah dilakukan. Diantaranya sustainabilty policy (kebijakan atau peraturan terkait keberlanjutan- red) yang sangat kuat. Pemerintah pun telah mengeluarkan instrumen kebijakan untuk mendorong penerapan sustainability, diantaranya dengan dikeluarkannya Inpres No. 6 tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan yang merupakan peta jalan yang sangat penting.
Apalagi ditambah dengan prinsip dan kriteria ISPO maupun RSPO yang sangat kuat. Kemudian ada upaya-upaya diitingkat yuridis (hukum) dan landscpae yang didukung oleh pemerintah, perkebunan, pelaku multi national company dan lembaga non-governmental organization sehingga terbangun partnership yang kredibel.
“Sehingga harapannya market juga melihat bagaimana upaya sustainability dan pemenuhan quality itu serius dilakukan. Ke depan, yang perlu menjadi perhatian bersama adalah persyaratan kualitas yang mencakup 3 MCPDE dan GE yang akan resmi diberlakukan di industri pangan pada Januari 2021. Perkebunan dan asosiasi perlu mengkaji praktek-praktek di lapangan maupun PKS yang dapat mendukung pemenuhan kualitas ini. Produsen di negara lain juga sudah mulai menyiapkan pemenuhan persyaratan kualitas ini,” jelas Desi.
Sebab, Desi pun mengakui, bahwa saaat ini konsumen menginginkan suplai yang sustainable dan memenuhi standar quality (berkualitas). “Jadi kedepan tidak hanya sustainability tapi juga quality perlu menjadi perhatian,” harap Desi.
Padahal, menurut Desi masa depan sawit itu ada di petani. Jika petani kebunnya tidak menerapkan sustainability dan produktivitas tanamannya rendah maka pendapatan yang diterima petani menjadi tidak optimal. Hal ini akan mendorong ekspansi lahan sehingga berujung pada penggunaan sumberdaya alam yang tidak efisien.
Tapi jika produktivitas petani tinggi dan kualitas buah TBS-nya baik maka petani pun akan lebih sejahtera dari lahan yang dikelolanya dan bisa memenuhi kebutuhan TBS sesuai standar di PKS. Hal ini pulalah yang menjadi keinginan dari Kementerian Pertanian dalam hal ini Ditjen Perkebunan yakni petani mampu menghasilkan produktivitas tinggi dan kualitas buah yang baik agar petani dapat memutar roda ekonominya.
“Memang ini menjadi suatu tantangan yang cukup besar tapi juga kesempatan sebagai produsen minyak sawit terbesar didunia unuk bisa menjadi preferensi pasar sekaligus menghasilkan industri yang tangguh, produktif, efisien dan mensejahterakan para petaninya,” pungkas Desi (YIN)