Bogor, Mediaperkebunan.id
Sustainability karet alam yang sekarang sedang digagas oleh berbagai pihak dengan berbagai versinya harus disikapi dengan hati-hati oleh pelaku hulu baik petani maupun perusahaan pekebunan. “Jangan sampai pelaku di hilir minta berbagai syarat sustainable yang memberatkan sehingga keluar tenaga dan biaya yang cukup besar sedangkan harga tetap rendah. Sekarang ini seharusnya ada kerelaan dan fairness pembagian margin dari industri hilir ke pelaku usaha dihulu, jadi margin tidak mampet di sektor hilir” kata Karyudi, pengamat industri karet.
Kalau sertifikasi sustainable diwajibkan maka harus ada jaminan bahwa akan mendapat harga premium, yang mekanismenya harus diatur dengan jelas. Kalau tidak maka hanya akan memberatkan saja bagi petani atau perusahaan perkebunan di sektor hulu.
Sustainability karet alam sudah lama digagas oleh NGO dan pelaku industry ban internasional yang dituangkan dalam konsep platform GPSNR (Global Platform Sustainability Natural Rubber). Platform ini timbul karena ada dugaan perkebunan karet salah satu penyebab deforestasi, tidak mensejahterakan petani, mengurangi keanekaragaman hayati dan lain-lain. Dugaan-dugaan ini perlu dipertanyakan kebenarannya.
Kebun karet yang ada sekarang banyak yang ditanam di lahan eks HPH yang sebelumnya merupakan areal dengan vegetasi semak belukar. Jadi justru menyelamatkan lingkungan karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sendiri memasukkan karet sebagai tanaman kehutanan.
Tanaman karet secara alami sangat ramah lingkungan karena mampu menangkap karbon dioksida (carbon sequestration) dalam jumlah besar, dan menghassilkan oksigen dalam jumlah yang besar juga. Akar karet mampu menahan air sehingga mencegah erosi dan memperbaiki water balance air tanah, juga luruhan daunnya dapat memperbaiki struktur tanah.
Tuduhan mengurangi keanekaragaman hayati juga tidak sepenuhnya benar karena petani karet sudah terbiasa melakukan mix farming dan menerapkan pola agroforestry. Luas lahan karet 88% milik petani sehingga mayoritas sudah melakukan mix farming dan pola agroforestry.
Karet dianggap tidak mesejahterakan petani karena harganya terus turun sejak tahun 2011, sedangkan harga ban dimana sekitar 70 karet alam digunakan untuk industry ini harganya relatif stabil. Mengukur kesejahteraan karet bisa dengan membandingan dengan harga beras (Purchase power parity). Purchase power parity bokar pada bulan maret 2011 setara dengan 4 kg beras, pada maret 2020 2-3 kg bokar hanya bisa untuk beli 1 kg beras dan maret 2021 sudah ada perbaikan 1 kg bokar bisa untuk beli 1 kg beras. Sejak triwulan keempat 2020 harga karet mulai naik dan sekarang masih lumayan meskipun belum begitu tinggi juga.
Kenaikan harga karet beberapa bulan terakhir ini disebabkan masa pandemi covid 19 banyak petani yang tidak menyadap akibat la nina (musim hujan) terutama di daerah-daerah sentra produksi karet seperti Indonesia dan Thailand. Selain itu serangan penyakit gugur daun Pestalotiopsis di Sumatera bagian selatan, Sumatera bagian utara, Malaysia dan Thailand menyebabkan penurunan produksi yang cukup signifikan.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani karet seharusnya industri hilir, terutama industri ban sebagai penyerap karet alam terbesar, mau berbagi margin dengan petani di hulu. Jangan sampai margin yang tinggi tidak diturunkan ke hulu.
“Jangan sampai industri ban nanti menuntut karet sustainable tetapi memberatkan sektor hulu karena perlu banyak biaya dan tenaga untuk memenuhi sertifikasi sustainable. Sudah harga rendah dibebani lagi dengan biaya sustainable. Kalau mau fair marginnya dibagi dan diberi harga premium, ini yang harus diperjuangkan kalau sustainability karet mau diterapkan,” kata Karyudi.