2020, 12 Oktober
Share berita:

Jakarta, Media Perkebunan.id

Salah satu kunci sukses program PIR adalah pembinaan petani yang intensif oleh pemerintah lewat ADO dan perusahaan inti. Setelah ADO tidak ada pada era PIR KKPA yang berhasil adalah yang dibina secara intensif oleh perusahaan inti. Gamal Nasir, Pembina POPSI menyatakan hal ini dalam webinar POPSI dengan tema Pendampingan Perkebunan Sawit Rakyat Indonesia, “ Dimana Peran Negara dan Swasta?

Saat ini kelapa sawit rakyat luasnya 41% dan didominasi oleh petani swadaya. Banyak masalah yang mereka hadapi yaitu masuk dalam kawasan hutan, produktivitas rendah dan lain-lain. Masa depan sawit Indonesia ada ditangan petani. Karena itu pemerintah dan perusahaan swasta sekitarnya harus terjun mendampingi petani untuk memperbaiki semuanya.

Bustanul Arifin Caya, Kepala Pusat Pelatihan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, menyatakan sebagian besar model bisnis perkebunan kelapa sawit rakyat adalah petani mandiri. Sensus 2013 menyatakan hanya 8% yang mendapat penyuluhan; 72% tidak bergabung dalam kelompok; kemampuan budidaya, akses permodalan dan pasar masih terbatas. Karena itu diperlukan peran dan fungsi penyuluh pertanian (PNS, swasta dan swadaya).

Pada kelapa sawit yang diutamakan perannya adalah penyuluh swasta dan swadaya. Peran mereka membangun model bisnis dengan skema kemitraan berkelompok, koperasi, pengelolaan perusahaan; menggabungkan petani sawit dalam kelompok; penyuluhan teknis budidaya dan panen; penyediaan sarana produksi; membuka akses pasar; penganekaragaman usaha. Peran penyuluh sangat penting bagi pemberdayaan petani sawit.

Edi Wibowo, Direktur BPDPKS menyatakan peningkatan produktivitas untuk menghasilkan peningkatan produktivitas CPO memerlukan peran SDM. Tenaga kerja terampil di perkebunan kelapa sawit sangat dibutuhkan.

SDM yang diperlukan pada perkebunan rakyat adalah asisten kebun (setara dengan perusahaan besar), penyuluh dan pendamping kelompok tani; pada koperasi/kelembagaan pengelola, krani administrasi dan keuangan, auditor internal; peremajaan sawit rakyat pendamping tingkat desa, kecamatan dan kabupaten, pendamping penyiapan sertifikasi kebun rakyat, pendamping sustainability. Program pengembangan SDM BPDPKS saat ini untuk pendidikan D1 1200 orang, D3 630 orang, D4 120 orang. Sedang program pelatihan petani 4.529 orang dan masyarakat umum 3300 orang.

Baca Juga:  Ekspor Rempah-rempah Meningkat

Fitrian Ardiansyah, Direktur IDH menyatakan dukungan yang diberikan pada petani sawit lewat IDH adalah kebijakan ekonomi hijau, investasi hijau, platform multipihak dikaitkan langsung ke aktivitas lapangan, bahan tanam yang baik, verified sourcing area (daerah pasokan terverifikasi), kesepakatan public private untuk produksi, proteksi dan inklusi. Untuk daerah pasokan verifikasi IDH saat ini bekerja di Aceh, Jambi, Sumsel, Kalbar, Papua Barat dan Papua.

Di Aceh Tamiang contohnya dibangun kesepakatan antara Pemkab Aceh Tamiang, KPH III,Gapki Aceh, FKI,KTNA dan IDH. Ada komiten pembeli yaitu Musim Mas selanjutnya CPO ditampung Unilever dan Pepsi.Co. Aktivitas pemetaan lebih dari 500 petani swadaya untuk GAP, kapasitas, perlindungan dan restorasi hutan. Akses terhadap pembiayaan dan bahan tanaman, pengelolaan HCV/HCS dan penerapan ISPO/RSPO.

Joko Wahyu Priadi, Cargil Farmer Development Lead menyatakan setelah sukses membina petani PIR baik PIR trans maupun KKPA, saat ini membina petani swadaya di Musi Banyuasin. Petani swadaya kalau tidak dibina akan menjadi masalah besar. Proses pembinaan dimulai dari melihat skema rantai pasok kemudian menetapkan model aliran bisnis yaitu aliran TBS, alur pembayaran dan quality control.

Model kebun swadaya hindoli adalah pastikan areal bukan HPKV, dengan pengambilan titik koordinat setiap kavling, kelengkapan dokumen suplier; perjanjian kerjasama jual beli TBS dengan pembinaan, grading dan penalty , sertifikasi bekerjasama dengan IDH. “Kemitraan bukan jual beli putus. Memang tidak mudah membina petani swadaya, perlu proses tetapi asal transparan semua bisa diatasi,” katanya.

Rukaiyah Rafik, Senor Advisor Forstabi menyatakan dalam proses pendampingan petani swadaya pemerintah punya kewenangan dalam pemenuhan standar dan legalitas, kapasitas organisasi petani dan program bantuan. Sedang perusahaan peningkatan kapasitas dan pengetahuan budidaya petani, akses pasar dan pemetaan lahan. Juga ada dana CSR dan bisa memberi bantuan kredit. Kolaborasi merupakan kunci pendampingan petani swadaya menuju minyak sawit berkelanjutan.

Baca Juga:  Pupuk Indonesia Perkuat Digitalisasi

Bungaran Saragih, pakar agribisnis menyatakan salah satu penyebab Indonesia menjadi negara produsen terbesar adalah karena peran petani baik swadaya dan PIR. Karena dulu petani sawit bergerak sendiri tanpa bantuan pemerintah, sekarang petani kelapa sawit lewat asosiasi-asosiasi harus membentuk koporasi petani. Korporasi ini siap bekerjasama dengan siapa saja. Asosiasi petani bukan kelembagaan sosial politik saja tetapi menjadi kelembagaan bisnis petani.

M Darto, Sekjen SPKS menyatakan saat ini yang berkembang hanya petani swadaya yaitu 0,7%/tahun. Produk petani swadaya yaitu TBS dengan berbagai cara akhirnya ditampung perusahaan besar. Dorongan pembeli untuk kelapa sawit berkelanjutan belum banyak menyentuh petani, buktinya yang bersertifikat RSPO dan ISPO hanya 0,001%.

Saat ini banyak perusahaan secara sendiri-sendiri seperti Musim Mas, Cargill dan yang lainnya membina petani. Tetapi ini tidak cukup. Harusnya ada kolaborasi semua perusahaan besar perkebunan sawit untuk membina petani.

Sawit rakyat memang berevolusi tanpa bantuan pemerintah tetapi hasilnya adalah petani dengan kemampuan SDM minim dan kelembagaan yang lemah. Negara alpa membina petani. Sekarang semua level pemerintah juga harus bekerjasama membantu petani, jangan sendiri-sendiri lagi.