Share berita:

Jakarta – Kementerian Pertanian mencatat sejak 2008 setidaknya telah dihasilkan 56 produk pertanian yang mendapatkan sertifikat Indikasi Geografis (IG). Dari jumlah itu, 38 produk merupakan komoditi perkebunan, seperti kopi, lda, kayu manis, tembakau, gula kelapa, minyak nilam, mete, vanili, pala, dan gambir. Sedangkan produk perkebunan yang paling banyak mendapat IG adalah kopi sebanyak 22 sertifikat.

Hal tersebut diungkapkan Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Dedi Djunaedi dalam Talk Show bertajuk “Advokasi dan Promosi Produk Perkebunan Berbasis Indikasi Geografis, di Jakarta, Jumat (11/5). Hadir dalam acara tersebut Ketua Asosiasi IG (AIGI) Riyaldi, dan nara sumber lainnya.

Dedi mengatakan, produk IG merupakan salah satu produk pertanian yang mempunyai nilai tambah dan daya saing dalam pemasaran. “Hal ini karena dengan jenis produk yang sama tetapi mempunyai kekhasan yang berbeda untuk setiap daerah,” ujarnya.

Dengan kekhasannya, lanjut Dedi, produk menjadi daya tarik dan keunggulan daerah tersebut. Hal ini juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut ikut berkembang.

Dedi berharap, dengan terbitnya produk yang telah mendapat sertifikat, maka ikut pula meningkatkan pemasaran ke luar negeri melalui brand IG. “Dengan harapan tidak ada lagi brand-brand dari luar negeri yang diklaim milik mereka, tapi menggunakan nama daerah dan asal produk nusantara,” katanya.

Sementara itu Ketua AIGI Riyaldi menekankan pentingnya produk perkebunan yang memiliki sertifikat IG. Karena dengan begitu produk perkebunan akan terlindungi dari pemalsuan. Sehingga harganya menjadi lebih baik dan menguntungkan petani.

Riyaldi menyebutkan, lada putih muntok menjadi salah satu contohnya. “Sebelum adanyanya aturan IG, lada muntok dari Bangka Belitung harganya di bawah 50 ribu per kilogram Karena dicampur lada hitam dari Vietnam, sehingga mutunya jatuh. Tapi setelah dilindung IG, lada putih muntok harganya mencapai Rp 150 ribu per kilogram,” jelasnya. (YR)

Baca Juga:  Fitonutrien Sawit Berpeluang Menjadi Tambang Ekonomi Indonesia