Musi Banyuasin, Mediaperkebunan.id
Kelompok tani karet dan UPPB yang sudah dibentuk di Kecamatan Batanghari Leku, Musi Banyuasin saat ini bubar. Penyebabnya sekitar 70% petani karet sudah mengkonversi kebunya jadi kelapa sawit. “Dulu saya punya kebun karet 6 ha. Tiga tahun lalu saya tebang semua dan ganti jadi kelapa sawit. Sekitar 70% petani karet di tempat kami melakukan hal yang sama sehingga kelompok tani dan UPPB yang sudah dibentuk bubar karena karetnya sudah tidak ada, “ kata Nizam Nafishi, seorang petani sawit eks karet.
Karet pernah mencapai harga tertinggi tahun 2011, kemudian menurun lagi sampai harga terendah tahun 2016, setelah itu stabil di harga rendh. Waktu itu mulai konversi besar-besaran oleh petani. ‘Dengan harga waktu itu Rp3000/kg tidak ada yang mau menyadap. Ditempat kami bagian penyadap 2/3 sedang pemilik kebun 1/3 . Dengan porsi yang lebih besar seperti itu saja penyadap tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dan lebih suka bekerja di perusahaan sawit,” katanya.
Karena tidak lagi menghasilkan maka Nizam menebang tanaman karetnya dan mengganti dengan sawit. Saat ini baru berbuah pasir. Dulu karet yang ditebang juga menggunakan benih unggul dan masih produktif. Menanam sawit juga lebih mudah cukup 10 hari sekali panen, sedang karet setiap hari.
Tetapi menanam kelapa sawit ada masalah juga. Karena masuk kawasan hutan petani tidak dapat membentuk kelompok tani sehingga bekerja sendiri-sendiri. Sedang ketika masih menanam karet hal ini tidak masalah, petani menjual lewat kelompok ke UPPB dengan harga lelang. Sekarang 30% petani yang masih menanam karet menjual ke tauke.
Saat ini di beberapa sentra karet seperti Sumsel, Jambi, Sumut sudah ada beberapa pabrik karet yang tutup. Di Jambi dari 11 pabrik karet, 2 tutup. Di Sumut , dari 36 pabrik karet 6 pabrk sudah tutup. Di Sumsel juga ada 2 pabrik yang sudah tutup. Di seluruh Indonesia menurut catatan GAPKINDO ada 45 pabrik yang tutup.