2018, 23 Januari
Share berita:

Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) menegaskan bahwa pendanaan subsidi biodiesel tidak mengambil Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semenjak tahun 2015 hingga sekarang. Tetapi menggunakan dana pungutan CPO (CPO Fund) yang diperoleh dari ekspor produk sawit dan produk turunannya. Dana pungutan inilah yang dihimpun dan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia. Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Penghimpunan Dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

“Dukungan untuk program biodiesel tidak mengambil dana (subsidi) pemerintah. Tetapi dari pungutan ekspor sawit dan turunannya dari perusahaan sawit setiap bulan,” tegas Paulus Tjakrawan, Ketua Harian APROBI, dalam temu wartawan.

Pernyataan ini diungkapkan Paulus Tjakrawan untuk menepis informasi yang berkembang di sejumlah media massa bahwa program biodiesel mengandalkan anggaran pemerintah. Padahal, kata Paulus, program biodiesel mendapatkan sokongan 100% dari pihak swasta yang mengekspor produk sawit dan turunannya.

Paulus menjelaskan pihak swasta mempunyai niat baik untuk menggenjot program mandatori biodiesel yang berhenti pada 2014. Kala itu, program biodiesel berhenti lantaran terjadi defisit perdagangan luar negeri sebagai dampak impor minyak bumi melonjak hingga US$ 5,6 miliar. Sedangkan, perdagangan ekspor hanya US$ 4 miliar sehingga terjadi minus perdagangan sekitar US$ 1,6 miliar. “Kondisi inlah yang menyebabkan subsidi pemerintah untuk BBN (biodiesel) dari tahun 2014,” jelas Paulus.

Di saat yang sama, kondisi industri sawit mengalami masalah dari aspek harga dan permintaan. Harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit petani anjlok antara Rp 500-Rp 600 per kilogram, karena lesunya permintaah minyak sawit di pasar global.

Paulus menyebutkan atas inisiatif dari perusahaan sawit/pengekspor bersama pemerintah merancang program pengumpulan dana untuk meningkatkan kembali penerimaan pemerintah, petani Sawit dan Swasta, menjalankan kembali program BBN-Biodiesel serta program lain nya seperti replanting, riset, dan promosi.

Baca Juga:  SEMINAR TEKNIS KELAPA SAWIT

Program inilah yang didanai oleh pungutan ekspor produk sawit dan turunannya yang bervariasi antara US$10-US$50 per ton.“Dana ini dikelola dan disalurkan BPDP-KS salah satunya untuk pembayaran selisih harga antara harga solar dan harga biodiesel ke perusahaan Biodiesel. Sebab, pemerintah (Pertamina) tidak mau menanggungnya,” jelas.

Paulus mengatakan perbandingan antara iuran dari perusahaan pengekspor produk sawit dengan pembayaran atas selisih harga solar dan harga biodiesel ke produsen biodiesel adalah tidak relevan.
“Karena itu tidak tepat. Berusaha memojokkan perusahaan BBN biodiesel Indonesia dan berpotensi menggagalkan program BBN Indonesia,” ujar Paulus.

Sebagai contoh, salah satu perusahaan membayar iuran yang besar karena mengekspor sawit, akan tetapi perusahaan tersebut tidak memiliki pabrik biodiesel. Maka perusahaan tersebut tidak mendapatkan pembayaran selisih harga dari BPDP Kelapa Sawit..

Selain itu, ada beberapa produsen Biodiesel yang tidak memiliki kebun sawit dan ada yang mempunyai kebun namun bukan pengekspor produk sawit. “Alokasi pasokan produsen biodiesel pro rata disesuaikan dengan kapasitas pabrik yang ditetapkan Ditjen EBTKE ESDM, sampai saat ini telah berjalan dangan baik,” jelas Paulus.

Ketua Umum Aprobi MP Tumanggor mengatakan harus dibedakan antara eksportir merangkap produsen, eksportir, dan produsen. Sebab, eksportir memiliki kewajiban membayarkan iuran ke BPDP Kelapa Sawit lalu pungutan tadi dipakai untuk menanggung selisih antara harga solar dan harga biodiesel ke produsen. YIN