Semakin tinggi pohon maka semakin tinggi pula angin yang menerpa, begitulah yang terjadi saat ini pada perkebunan Indonesia yang telah membuktikan sebagai penyangga ekonomi nasional.
Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Bambang menghimbau kepada seluruh pelaku perkebunan baik perusahaan ataupun petani untuk bersama-sama menguatkan perkebunan. Sebab harus diakui hingga saat ini ada banyak pihak yang ingin mengkerdilkan perekebunan Indonesia.
“Hal ini terlihat dengan adanya pihak yang menghambat atau bahkan melakukan black campaign (kampanye hitam) kepada perkebunan. Tanda-tanda tersebut terlihat pada komoditas perkebunan kelapa sawit dan kakao. Bahkan ada banyak pihak yang tidak mengerti kelapa sawit tapi suaranya kencang,” jelas Bambang dalam Diskusi Perkebunan dengan tema “Antisipasi Kebakaran untuk Menuju Perkebunan Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh Media Perkebunan, di Jakarta.
Lebih lanjut, menurut Bambang banyaknya pihak yang ingin mematikan perkebunan Indonesia karena perkebunan memiliki banyak manfaat bagi negara lain, contohnya kelapa sawit. Saat ini banyak negara yang sedang mencari sumber energi terbarukan, untuk menggantikan energi yang berasal dari fosil yang jumlahnya semkin berkurang, dan itu ada pada kelapa sawit.
Terbukti berdasarkan data oil world, dalam 1 Hektare (Ha) kebun kelapa sawit, akan menghasilkan rata-rata 3,6 ton minyak, sedangkan 1 Ha kebun kedelai hanya menghasilkan rata-rata 0,39 ton minyak nabati. Efisiensi lahan ini dimungkinkan karena kelapa sawit adalah tanaman tahunan yang berbuah sepanjang tahun, dibandingkan kedelai yang merupakan tanaman musiman.
“Atas dasar itulah negara-negara penghasil minyak nabati merasa ketakutan kepada Indonesia yang saat ini sebagai penghasil minyak nabati terbesar yang berasal dari kelapa sawit,” jelas Bambang.
Tidak hanya itu, menurut Bambang, dengan lebih efisiennya kelapa sawit dibandingkan minyak nabati lainnya maka munculah berbagai tuduhan kepada kelapa sawit dengan mengatakan bahwa kelapa sawit tidak sustainable (ramah lingkungan).
Padahal jika diihat secara budidaya, usia tanaman kelapa sawit atau dalam satu siklus mencapai 25 tahun, sedangkan tanaman kedelai hanya 4 bulan. Artinya kelapa sawit dalam 25 tahun baru dilakukan peremajaan. Sedangkan tanaman kedelai 4 bulan sekali harus dibongkar dan diganti tanaman baru atau dalam 1 tahun dilakukan 3 kali peremajaan.
“Melihat hal ini maka harus ada pembuktian bahwa kelapa sawit telah menerapkan pola sustainable melalui sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),” tegas Bambang.
Bukan hanya itu, menurut Bambang, sertifikasi ISPO juga sebagai pembuktian bahwa pelaku perkebunan kelapa sawit tidak melakukan pembakaran lahan dalam melakukan budidaya. Hal ini karena didalam prinsip dan criteria (P&C) ISPO adanya larangan membakar lahan.
Bahkan didalam UU Perkebunan juga tertera bahwa untuk membuka lahan dilarang dengan cara pembakaran. Sehingga dalam hal ini pelaku perkebunan sudah sadar dan tidak akan membuka lahan tanpa bakar.
“Atas dasar itu kita terus berkoordinasi dan bekerjasama untuk membuktikan bahwa hal kebakaran terjadi bukan karena perkebunan kelapa sawit,” terang Bambang.
Lebih lanjut, Bambang mengapresiasi kepada perusahaan yang telah membentuk desa peduli api dengan melibatkan masyarakat setempat dan petani serta pemerrintah daerah (Pemda) untuk mencegah adanya kebakaran.
Seperti diketahui dikebun-kebun yang dibudiayakan dengan baik sudah dipersiapkan tim anti kebakaran atau tim peduli api. Kemudian perushaan akan memberikan hadiah-hadiah kepada desa yang sudah melakukan pencegahan kebakaran.
“Langkah-langkah ini sebagai pembuktian bahwa tidaklah benar jika perkebunan melakukan pembakaran serta untuk menyikapi akan datangnya musim kemarau agar tidak terjadi kebakaran lahan,” pungkas Bambang. YIN