T-POMI
2021, 3 April
Share berita:

Bengkulu, Mediaperkebunan.id

Rusbandi, penangkar benih kelapa sawit di Bengkulu, tahun lalu sudah membibitkan 850.000 kecambah sawit menjadi benih siap salur untuk petani peserta Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Tahun ini ditargetkan untuk PSR membibitkan 900.000 kecambah.

“Saya memulai usaha ini tahun 2003. Waktu itu sebagai PPNS kita berhadapan dengan banyak sekali benih palsu. Keberadaanya kita lawan dengan membangun penangkaran benih unggul kelapa sawit. Dimulai dengan 1.000 kecambah kemudian naik jadi 10.000 kemudian 25.000. Tahun 2007 mendapat waralaba dari PPKS,” kata Rusbandi.

Selain memasok kebutuhan benih siap salur, Rusbandi juga mendapat kontrak dari perusahaan besar 200.000 benih. Kapasitas Pre nursery yang dimililki Rusbandi 350.000 , sedang main nursery 600.000 batang. Saat ini Rusbandi memenuhi 60% kebutuhan benih PSR di Bengkulu.

Pengalaman panjang sebagai penangkar membuat Rusban melihat bahwa perbenihan ini masih jauh tertinggal sehingga perlu banyak perbaikan. “Buktinya ada wacana uji DNA dari Dirjen Perkebunan. Hal ini artinya adalah bahwa sertifikasi benih yang selama ini kurang dipercaya. Sebagai mantan kepala BP2MB (Balai Pengawasan dan Pengujian Mutu Benih) seharusnya kita percaya pada proses sertifikasi asal dilakukan dengan benar. Solusinya bukan uji DNA tetapi perkuat sistim sertifikasi,” katanya.

Untuk kelapa sawit maka proses sertifikasi dimulai dari pemeriksaan fisik kecambah dan dokumen yang menyertainya dari produsen ketika datang ke penangkar. Setelah itu pemeriksaan sesudah 3 bulan, 6 bulan baru disertifikasi dan dilepas.

Pada proses pembibitan sendiri seharusnya ada standar yang harus diikuti yaitu proses, kompetensi dan produk. Masalahnya sampai saat ini yang ada baru standar produk tetapi belum ada standar proses dan kompetensi, padahal semuanya harus benar.

Baca Juga:  Asian Agri 100 Persen ISPO

Proses pembenihan saat ini masing-masing penangkar melakukannya berbeda-beda. “Sebagian besar penangkar memulai usahanya dari nol. Mereka punya insting dan kebiasaan yang berbeda dan dibawa dalam proses pembibitan sehingga prosesnya menjadi tidak standar. Kondisi ini membuat keragaman mutu benih yang beredar juga variasanya sangat tinggi,” katanya.

Standar kompetensi yang melakukan pembibibitan juga perlu ada. Sampai saat ini tidak ada satupun penangkar dan pegawainya yang punya kompetensi sebagai ahli pembibitan. “Harusnya ada dokumen yang menyatakan Rusbandi sebagai tenaga ahli pembibitan. Tetapi kan tidak ada karena memang standar kompetensinya tidak ada,” katanya. Rusbandi sudah mengusulkan pada Badan Nasional Standarisasi Profesi untuk membuat standar kompetensi pembibitan yang diuji oleh Lembaga Sertifikasi Profesi.

Kalau standarisasi ini tidak ada maka akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar penangkar. Saat ini ada penangkar yang mengikuti standar proses pembibitan secara penuh seperti yang ditetapkan oleh produsen kecambah dan ada yang tidak.

Biaya produksi penangkar yang menerapkan standar penuh lebih tinggi daripada yang tidak. Padahal dua-duanya mendapat sertifikasi. Margin penangkar yang tidak menerapkan standar penuh lebih tinggi dari yang melakukan, sehingga peluang pasar mereka jadi lebih besar.

“Kondisi ini mengakibatkan pertempuran hebat antar penangkar untuk meraih pasar. Ada yang segmentasinya pasar petani/perusahaan yang ingin benih bermutu dan siap membayar mahal, tetapi banyak yang segmentasi pasarnya petani yang minta harga murah tetapi benih asli. Benarkah standar produk bisa dipenuhi kalau standar prosesnya dan kompetensinya tidak bisa dipenuhi,” katanya.

Dengan adanya standarisasi proses, kompetensi dan produk dengan benar maka petani mendapat benih yang terstandar sesuai dengan potensi produksinya sehingga produktivitas nasional naik; menciptakan proses bisnis yang benar dan bersih dalam perbenihan; mengeliminir kecurangan dan pencegahan korupsi secara sistematis.

Baca Juga:  GAR Jalin Kesepakatan di 10 Desa Kalimatan