Jakarta, mediaperkebunan.id – Sabarudin, Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menyatakan program biodiesel belum sepenuhnya memberikan dampak positif bagi petani kelapa sawit. Meskipun tujuan awal program ini adalah untuk kesejahteraan petani melalui kemitraan dengan perusahaan pemilik biodiesel, hingga saat ini, kemitraan tersebut belum terealisasi secara merata.
“Kami melakukan riset kecil di Riau, yang merupakan daerah dengan industri biodiesel di lima kabupaten, namun kenyataannya petani di sana belum menikmati hasil dari kemitraan tersebut. Petani masih menjual sawit mereka melalui tengkulak, bukan langsung ke perusahaan biodiesel,” ujar Sabarudin, dalam acara Diskusi Keberlanjutan Biodiesel, dengan tema “Mewujudkan Kemitraan Petani Dan Industry Biodiesel Dalam Pengembangan Biodiesel Sawit Untuk Kesejahteraan Petani Sawit“, Kamis (24/10/2024) di Jakarta.
Sebab itu, SPKS menekankan pentingnya adanya peraturan yang mewajibkan perusahaan biodiesel bermitra dengan petani, terutama di wilayah konsesi perusahaan. SPKS terus mendorong agar pengembangan biodiesel memberikan dampak nyata bagi masyarakat, terutama dalam hal peningkatan produktivitas. Saat ini, produktivitas petani sawit masih rendah, hanya sekitar 12 ton Tandan Buah Segar (TBS) per hektar/tahun, jauh di bawah produktivitas perusahaan yang mencapai 25 ton TBS per hektar/tahun.
“Ke depan, pengembangan biodiesel harus melibatkan petani secara lebih intensif agar dampaknya benar-benar di rasakan. Selain itu, program peremajaan sawit rakyat (PSR) dan akses terhadap pupuk serta bibit unggul harus menjadi fokus pemerintah baru untuk meningkatkan produktivitas petani,” tambahnya.
Ahmad Kailani, Ketua Umum Perisai Prabowo, menegaskan komitmennya untuk mengawasi dan memastikan kebijakan biodiesel, khususnya campuran biodiesel 50 persen (B50), berjalan sesuai dengan kepentingan petani. Ia menekankan pentingnya keterlibatan aktif dalam pengawasan kebijakan pemerintah terkait biodiesel, terutama yang berdampak langsung pada petani sawit.
Alasan utama Perisai Prabowo dan SPKS ikut dalam isu ini adalah karena Prabowo Subianto, sebagai Presiden RI terpilih, sangat memperhatikan kesejahteraan petani dan berkomitmen untuk memastikan peran mereka tidak di abaikan. “Prabowo sangat konsisten dengan hak-hak petani. Kebijakan pemerintah ke depan tidak hanya akan berada di angan-angan, tapi harus membumi dan berdampak langsung pada petani melalui kemitraan dengan pelaku usaha,” tambahnya.
Ia juga menekankan bahwa kebijakan B50 ini harus memberikan manfaat nyata bagi petani sawit dan tidak hanya menguntungkan pengusaha besar. “Kebijakan biodiesel harus berdampak positif bagi masyarakat, terutama petani sawit. Kami akan terus mengawal agar kemitraan ini tidak merugikan petani kecil,” tutupnya.
Edi Wibowo, Direktur Bioenergi di Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian ESDM, mengutarakan pengembangan biodiesel tidak hanya melibatkan Kementerian ESDM, tetapi juga kolaborasi dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perekonomian, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk perusahaan sawit dan petani. Pemerintah bersama pihak-pihak terkait sedang menyusun kebijakan keuangan dan insentif untuk mendukung komersialisasi biodiesel, khususnya terkait kemitraan antara petani plasma, petani swadaya, dan perusahaan produsen biodiesel.
“Produksi biodiesel sangat bergantung pada kelapa sawit sebagai bahan baku utama. Oleh karena itu, peran petani sawit, baik plasma maupun swadaya, sangat penting. Kemitraan antara petani dan perusahaan harus terus di tingkatkan agar program biodiesel tidak hanya sukses di sektor industri, tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi petani sawit,” tambahnya.
Mula Putra, Koordinator Kelembagaan Drektorat Tanaman Sawit dan Aneka Palma di Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, mengungkapkan bahwa kondisi perkebunan sawit saat ini di warnai oleh berbagai permasalahan, termasuk penurunan produktivitas dan serangan penyakit.
Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) menjadi prioritas dalam memperbaiki kebun yang tidak produktif, di sertai perbaikan infrastruktur, intensifikasi kebun, dan penyediaan sarana prasarana yang lebih baik. Pendataan melalui STDB akan di perkuat guna memperbaiki tata niaga TBS serta meningkatkan pendapatan petani melalui integrasi tanaman sela, peternakan, dan pemanfaatan limbah sawit.
Mula Putra optimis bahwa dengan langkah-langkah ini, produktivitas perkebunan sawit rakyat dapat mencapai 30-40 ton TBS per hektar dengan rendemen 23-25%. Peningkatan ini diharapkan dapat mendukung program biodiesel berbahan baku minyak sawit serta meningkatkan kesejahteraan petani sawit di Indonesia.
Wiko Saputra, Peneliti Tata Kelola Sawit dan Biodiesel, menjelaskan adanya tantangan teknis di lapangan yang menyebabkan stagnasi dalam produksi kelapa sawit. “Untuk mencapai B40, dibutuhkan tambahan 2,5 juta ton minyak sawit mentah (CPO),” ujarnya.
Dengan kenaikan permintaan biodiesel, kebutuhan CPO terus meningkat. Dengan asumsi kenaikan permintaan biosolar sebesar 3% per tahun, pada 2035 saat program B60 di jalankan, kebutuhan CPO untuk industri biodiesel dalam negeri akan mencapai 34,35 juta metrik ton (MT).
Potensi besar Indonesia dalam sektor perkebunan sawit swadaya pun ikut menjadi perhatian. Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 5,31 juta hektar perkebunan sawit swadaya, yang mampu memproduksi hingga 14,87 juta MT CPO per tahun atau setara dengan 13,91 juta kiloliter biodiesel. Potensi terbesar ini berasal dari perkebunan di Pulau Sumatra dan Kalimantan.
Namun, Wiko menilai bahwa model rantai pasok industri biodiesel saat ini belum memungkinkan petani sawit swadaya untuk mendapatkan nilai tambah yang maksimal. Oleh karena itu, diperlukan model rantai pasok baru yang memungkinkan perkebunan sawit swadaya mensuplai kelapa sawit mereka ke Pabrik Kelapa Sawit (PKS) mini milik kelompok petani dan langsung mensuplai PT Pertamina sebagai offtaker untuk biodiesel.
Meski begitu, ada sejumlah tantangan besar yang di hadapi. “Banyak kebun sawit swadaya yang produktivitasnya menurun dan membutuhkan peremajaan,” ujar Wiko. Selain itu, aspek kelembagaan petani sawit swadaya masih lemah, dan regulasi terkait perizinan PKS mini juga menjadi hambatan. Kualitas sumber daya manusia (SDM) petani sawit swadaya serta pengetahuan terkait bisnis hilir sawit masih perlu di tingkatkan.
Data mengenai petani sawit swadaya, seperti nama dan alamat, juga belum lengkap, sehingga menyulitkan pemerintah dalam memastikan kecukupan lahan, legalitas, dan kesiapan petani dalam mendukung industri biodiesel.
Mansuetus Darto, Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), menekankan pentingnya kerjasama lintas kementerian dalam pengembangan industri biodiesel di Indonesia. Menurutnya, kolaborasi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Pertanian menjadi kunci untuk memperkuat rantai pasok biodiesel. “Kunci keberhasilan ada pada koordinasi antar kementerian, terutama antara ESDM dan Kementerian Pertanian,” ujarnya.
Darto mengungkapkan bahwa kebijakan yang melibatkan perusahaan-perusahaan yang mendapat kuota biodiesel harus mencakup kewajiban kerjasama dengan petani sawit. Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan rantai pasok bahan baku biodiesel yang melibatkan petani secara langsung. “Perusahaan yang memasok biodiesel harus bekerjasama dengan petani sawit, dan Kementerian Pertanian sudah memiliki beberapa data dasar terkait petani sawit yang dapat digunakan untuk mendukung kebijakan ini,” tambahnya.