Jakarta, Media Perkebunan.id
Rencana pemerintah yang akan menaikkan pungutan ekspor CPO USD5 tiap kenaikan USD25/ton, sebagaimana disebutkan Menko Perekonomian, ditentang Serikat Petani Kelapa Sawit. M Darto, Sekjen SPKS menyatakan hal ini. “Kalau mundur ketahun 2015 sampai sekarang maka kebijakan biodiesel yang dibiayai pungutan ini tidak pernah memberi dampak pada petani sawit,” katanya.
Perhitungan SPKS dengan pungutan ekspor USD55/kg maka ada potensi penurunan harga TBS Rp130/kg. Kalau pungutan ekspor ditambah maka tentu penurunan harga TBS yang diterima petani akan semakin besar.
Kenaikan harga CPO sekarang yang diikuti naiknya harga TBS penyebabnya bukan program biodiesel tetapi memang sedang trek. Selain itu permintaan di negara-negara tujuan ekspor sudah normal. Tidak seperti Indonesia yang masih pandemi Covid-19, negara-negara itu relatif sudah normal.
Seharusnya dalam kondisi seperti ini harga TBS petani sedang tinggi yaitu Rp2000/kg. Tetapi kenyatannya di Kalimantan ada yang Rp1400/kg sedang di Riau lumayan bagus Rp1600-1700/kg.
Biodiesel merupakan bahan bakar yang paling tinggi harganya di dunia dan tidak kompetitif dibandingkan dengan minyak bumi. Karena itu tahun ini untuk membayar selisih harga solar dan biodiesel ada tambahan APBN Rp2,7 triliun karena dana BPDPKS tidak cukup.
Menurut Darto, dalam satu kesempatan Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia pernah minta dana negara Rp20 triliun untuk kelangsungan industri biodiesel. Alasannya sawit sudah menjadi penghasil devisa sehingga pantas mendapat APBN.
“Kalau pemerintah sekarang mengenjot B40-50 jadi salah kaprah. Saat ini izin perkebunan kelapa sawit sudah mencapai 20,3 juta ha. Tanaman yang sudah menghasilkan 16,3 juta ha. Terjadi kelebihan pasokan, awal tahun 2020 sendiri menurut GAPKI stok 2019 mencapai 4,5 juta ton. Artinya tidak ada yang menyerap kelebihan,” kata Darto.
Dari kebun yang sekarang saja sudah over suply. Kalau PSR berhasil dengan peningkatan produktivitas maka produksi CPO akan melimpah. Konglomerat sawit menyiasati hal ini dengan penyerapan di dalam negeri lewat biodiesel. Karena harganya tinggi maka perlu dibiayai dari pungutan sawit BPDPKS.
“Saya minta B30 stop sampai disitu saja dulu. Pemerintah harus intervensi di hulu. Kebun-kebun sawit bermasalah harus diselesaikan, kalau melanggar maka dilakukan penegakan hukum. Izin-izin yang belum direalisasikan pembangunan stop saja, sekarang perusahaan perkebunan untuk menambah produksi lebih baik bekerjasama yang lebih bagus dengan petani swadaya,” katanya.
Serapan B30 saat ini baru 4,5 juta kiloliter. Pengusaha biodiesel biaya produksi USD60-70/ton dan dengan harga jual ke Pertamina USD100 mereka sudah untung USD30-40/ton.