Jakarta, Mediaperkebunan.id – Bisnis perkebunan kelapa sawit sangat berbeda dengan bisnis lain seperti manufaktur. Perkebunan subjek dan objeknya hidup, sedang bisnis lain seperti manufaktur subjeknya hidup tetapi objeknya mati.
“Karena itu rumus matematika kalau di bisnis lain bisa diterapkan, diperkebunan belum tentu. 1+1 diperkebunan belum tentu 2,” kata Soemanto Sastro, yang berpengalaman 36 tahun sebagai eksekutif dengan berbagai jabatan di group-group besar perkebunan sawit Indonesia, sehingga menjadi GURU banyak planter di Indonesia yang tersebar di berbagai perusahaan.
Subjek di perkebunan adalah manusia sedang objeknya adalah tanaman. Tidak semua hal yang terjadi diperkebunan ditentukan oleh usaha manusia.
“Sering saya sampaikan pada teman-teman planter di lapangan peran Tuhan Sang Maha Penentu itu sangat besar sekali. Contohnya iklim, fisiologi tanaman itu diluar kuasa manusia. Kadang-kadang ada kejadian tidak masuk akal. Ketika sensus produksi yang biasa dilakukan semester sekali atau 4 bulan sekali, ketika diambil sampling diperkirakan produksi 7 janjang/pohon. Tetapi karena oranya spritual tinggi dan doanya luar biasa produksinya bisa menjadi 8 janjang/pohon. Matematika tidak bisa diterapkan pada perkebunan,” katanya Soemanto Sastro.
Berdasarkan pengalaman Soemanto bahwa ada 2 hal yang menentukan kalau ingin berhasil pada bisnis perkebunan yaitu objeknya yaitu tanaman harus bagus, berasal dari benih unggul dengan sumber benih yang bisa dipercaya dan dikelola dengan baik. Kedua faktor manusianya juga sangat menentukan.
“Ketika tahun 2001 saya bergabung dengan salah satu group perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia , saya membangun sistem perkebunan bareng kepala HRDnya,” lanjutnya.
“Saya membangun perkebunan HRD membangun orangnya. HRD membangun orang saya yang bagian tanaman ikut terlibat di dalamnya, setiap tahun ikut melatih staf, non staf, mandor beberapa batch. Dua-duanya dibangun, fisik tanamannya juga kesiapan dan keterampilan orang-orangnya,” kata Soemanto Sastro
Kualitas kebun ditentukan juga oleh kualitas orang-orangnya. Membangun hasilnya akan berbeda ada yang bisa berlari cepat, setengah berlari dan lambat. Hal itu tidak masalah, dengan berjalannya waktu orang-orang yang tidak bisa mengikuti kecepatan yang sudah ditentukan secara alami akan tereliminasi dengan sendirinya.
Ketika owner sebuah group besar mengakuisisi kebun PMA Malaysia seluas 76.000 ha dengan kebun 31 kebun, bagi Sumanto itu terlalu banyak. Pertama kali bekerja di group besar lainya waktu itu satu kebun ideal adalah 4000-6000 ha seiring dengan berjalannya waktu yang moderat adalah 3.000-4.000 ha. Sedang kebun yang diakuisisi itu satu kebun luasnya 2.400-2.600 ha.
“Saya kecilkan jadi 20 kebun berarti ada 11 manager kebun yang tidak memegang kebun lagi tetapi tidak ada yang saya pecat. Saya berprinsip siapa yang tidak bisa mengikuti irama yang sudah ditentukan pasti akan tereliminasi sendiri, saya jalan terus,” katanya.
Kultur teknis harus bagus sehingga tanamannya baik juga orang-orangnya. Ketika di group yang Sumanto tandem dengan kepala HRD , dimana sistem dan orangnya dibangun bersamaan , produksi CPO 3,8 ton/ha/tahun. Tahun kedua naik jadi 4,1, tahun ketiga 4,4, tahun ke empat 4,9, kemudian seterusnya diatas 5.
“Kalau produksi CPO sudah diatas 5 ton/ha/tahun berarti kebun sudah dikelola dengan baik. Semua perusahaan besar yang bagus produksinya diatas 5 ton. Dengan harga CPO Rp16.000-18.000/kg maka pendapatannya mencapai Rp90 juta/ha. Padahal biaya perha hanya Rp25 juta paling besar Rp30 juta berarti keuntungannya mencapai Rp60 juta/ha. Keuntungan yang sangat besar sekali. Tidak heran pemilik perusahaan rokok, elektornik, hiburan dan lain-lain ikut juga masuk ke bisnis perkebunan sawit. Perbankan juga suka membiayai perkebunan kelapa sawit, karena labanya besar bila dikelola secara baik,” kata pria yang dikenal dikalangan planter sebagai Pak Manto ini.