Medan, mediaperkebunan.id – Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (RSI), Kacuk Sumarto, menilai terbuka peluang bagi para perusahaan perkebunan kelapa sawit untuk mempersoalkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 36 Tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan.
“SK Menhut 36 itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan apakah perkebunan kelapa sawit tersebut beroperasi di dalam kawasan hutan,” ucap Kacuk Sumarto kepada para wartawan di Medan, Rabu (19/2/1025).
Kacuk Sumarto mengatakan hal itu di sela-sela Konferensi Internasional yang digelar RSI di JW Marriott Hotel, Jalan Putri Hijau, dan mengangkat tema “Indonesia’s Agricultural Industry Policies and The New European Union Regulation on Deforestation-Free Products: Tantangan dan Peluang”.
Konferensi ini menampilkan para pakar komoditas dan praktisi industri komoditas global akan hadir menjadi pembicara, antara lain: Prof Dr Rizaldi Boer (IPB University), Jelmen Haaze (Commoditu Senior Expert – PWC Belgium). Selanjutnya ada pula Suwanto Gullit (Business Operational Sustainability Manager for Palm, Unilever Oleochemical Indonesia), dan Ku Kok Peng (Chief Sustainability Officer, Kuala Lumpur Kepong Berhad).
Kata Kacuk Sumarto, banyak perusahaan kelapa sawit yang masuk dalam daftar pada SK 36 tersebut ternyata sudah memiliki alas legalitas lahan yang sah berupa HGU (Hak Guna Usaha) yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Ada kebun yang HGU-nya sudah perpanjangan, tapi masuk dalam daftar SK 36. Mestinya, SK yang bersifat penunjukan tidak bisa dijadikan dasar penetapan kawasan hutan. Harus ada proses verifikasi lapangan, pengukuran dan lain-lain,” Kacuk Sumarto menambahkan.
Kacuk Sumarto menjelaskan, SK 36 tersebut tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk menetapkan suatu lahan berada di dalam kawasan hutan.
Dirinya lalu merujuk kepada Undang-undang (UU) Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 15, yang menyebutkan bahwa penunjukan kawasan hutan adalah awal dari proses penetapan kawasan hutan, yang melalui 4 tahapan.
“Terbitnya SK Menhut nomor 36 tahun 2025 tentang Daftar Subjek Hukum Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa yang Telah Terbangun dalam Kawasan Hutan, harus dicek terlebih dahulu, dasar pengenaannya oleh SK yang mana, SK Penunjukan atau SK Penetapan,” kata Kacuk Sumarto dengan nada bertanya.
“Kalau hanya SK Penunjukan ya tentunya tidak sah untuk mengatakan suatu lahan masuk di dalam kawasan hutan,” tutur Kacuk Sumarto lebih lanjut.
Dirinya menyarankan agar setiap unsur masyarakat harus berani menggugat apabila terbukti telah mempunyai alas hak yang kuat, seperti sertifikat hak milik (SHM), gak guna bangunan (HGB), atau pun gak guna usaha (HGU).
Dia meminta agar jangan sampai terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempunyai alas hak yang legal. Menurutnya, boleh saja pemerintah menarik kembali lahan yang dikuasai oleh masayarakat untuk kepentingan umum, misalnya: pembangunan jalan, waduk atau fasilitas umum lainnya.
“Akan tetapi ya tetap harus dihargai hak-hak perdata masyarakat yang berada di dalam lahan tersebut,” ucap Kacuk Sumarto.
Kacuk mengatakan inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penetapan kawasan hutan akan membawa dampak secara global. Pada saat pelaku usaha dan petani kelapa sawit telah berkomitmen untuk patuh pada seluruh peraturan dan menerapkan tata kelola secara berkelanjutan, pemerintah sendiri justru menuding perkebunan sawit ada di kawasan hutan.
“Ini akan semakin menyulitkan komoditas minyak sawit untuk menembus pasar Eropa. Orang Eropa akan bilang, lho pemerintah Indonesia sendiri kan yang mengatakan bahwa ada kebun sawit di kawasan hutan,” kata Kacuk.
Bagi pelaku usaha dan petani sawit, kata Kacuk, SK 36 Menhut tidak masuk akal. Bahkan ada beberapa perusahaan yang HGU-nya sudah perpanjangan, masuk juga dalam daftar kebun yang masuk kawasan hutan.
“Ada perusahaan perkebunan yang pernah menggugat SK Menhut terkait penunjukan kawasan hutan dan gugatannya dikabulkan. Mengapa dikabulkan? Karena SK penunjukan tidak sah dijadikan dasar menetapkan lahan tersebut masuk kawasan hutan, apalagi dituding melakukan deforestasi,” katanya.
Kata Kacuk, RSI mendukung sepenuhnya langkah pemerintah untuk memberantas pelaku pembalakan hutan. Namun untuk perusahaan perkebunan yang bersih dan patuh terhadap semua peraturan, seharusnya tidak disangkutpautkan.