Bandar Lampung, Mediaperkebunan.id
Isu cemaran residu pestisida berbahan aktif Isoprocarb yang menerpa biji kopi Indonesia asal Lampung kerap menyita perhatian dari berbagai pihak. Pasalnya, negara tujuan ekspor yaitu Jepang “mengancam” akan menutup ekspor kopi secara keseluruhan dari Indonesia. Sebaliknya, jika Indonesia mampu membuktikan dalam 2 tahun dan/atau 300 kali shipment dalam 1 tahun, kopi Indonesia mampu menunjukkan nilai MRL (Maximum Residue Limit) berada di bawah ambang 0,01 ppm, maka Jepang akan membatalkan pemberlakuan inspection order 100% atas kopi asal Indonesia dan membuka kembali jalur perdagangan kopi tersebut.
Direktorat Perlindungan Perkebunan beserta jajarannya menggandeng berbagai pihak untuk bersama-sama berkomitmen dalam menuntaskan dan memulihkan kembali nama baik kopi Lampung Indonesia khususnya dan kopi Indonesia pada umumnya agar dapat dinikmati kembali oleh seluruh dunia.
Diadakan FGD pertengahan Maret lalu di Bandar Lampung. Pertemuan dimoderatori oleh Dr Antarjo Dikin (Analis Perkarantinaan Tumbuhan Ahli Utama) serta narasumber pertemuan dihadiri oleh Direktur Perlindungan Perkebunan Baginda Siagian, perwakilan dari Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar, Badan Karantina Pertanian, Badan Pangan Nasional, Dinas Perkebunan Provinsi Lampung.
Pertemuan juga dihadiri oleh Badan Karantina Pertanian Provinsi Lampung, Kepala Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD), Provinsi Lampung, Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Lampung Barat, Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Tanggamus, Dinas Perkebunan Kabupaten Way Kanan, Dinas Pertanian Kabupaten Lampung Utara, Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Barat serta para eksportir kopi.
Kasus pencemaran residu ini diduga bermula dari perilaku oknum petani yang “menyemprot” kopi untuk mengusir semut pada saat panen dengan menggunakan insektisida berbahan aktif Isoprocarb. Hal ini berbuntut panjang, karena pestisida kimia yang diaplikasikan menjelang panen dapat menimbulkan residu pada produk akhir. Berdasarkan data Direktorat Pupuk dan Pestisida bahwa insektisida berbahan aktif Isoprocarb terdaftar dan mendapat ijin Menteri Pertanian untuk pengendalian hama kutu putih (Planococcus citri) pada tanaman kopi (SK Mentan RI No. 597/KPTS/SR.330/M/10/2021).
Pengelolaan semut di lahan pertanian perlu dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, karena pada dasarnya semut berperan sebagai predator yaitu sahabat petani dalam mengendalikan hama tanaman. Kelimpahan populasinya memerlukan pengamatan dan monitoring yang intensif, jika sudah melewati ambang batas dan sangat mengganggu, maka tindakan pengelolaan dapat dilakukan dengan memerhatikan ekologi semut tersebut. Identifikasi jenis semut perlu dilakukan agar dapat diketahui bioekologinya, misalnya untuk jenis semut api (Solenopsis sp.) memiliki ciri khas membentuk sarang berupa gundukan tumpukan seperti pasir.
Tindakan petani dengan menyemprot semut pada ranting kurang efektif karena semut pekerja yang berada di luar sarang kurang dari 20% dari populasi, koloni semut yang harus dikelola berada di sarang gundukan. Sehingga cara terbaik yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan cara umpan.
Penerapan Good Agriculture Practices (GAP) dan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) yang mengarah pada penggunaan biopestisida yang ramah lingkungan perlu dilakukan, mendorong penerapan sistem pertanian organik pada komoditas kopi, penerapan registrasi kebun kopi dengan system ketelusuran atau traceability sehingga ketika terdapat kontaminasi bahan aktif yang melebihi ambang batas dapat ditelusuri asal produknya.
Treaceability produk serta melakukan inspeksi/monitoring biji kopi yang akan diekspor perlu diperhatikan guna mendapatkan informasi ketelusuran asal produk. Tracebility bukan hanya tanggung jawab Direktorat Jenderal Perkebunan dan Badan Karantina Pertanian saja namun juga oleh stakeholders lainnya seperti pihak swasta maupun eksportir. Offtaker atau eksportir juga harus proaktif agar permasalahan ini dapat terselesaikan.
“Pertanian organik menjadi solusi terbaik untuk menghindari cemaran kimiawi pada produk pertanian. Kita akan mencoba menyelesaikan permasalahan terkait Isoprocarb dari segala sisi, bahkan juga pada residu bahan aktif lainnya yang tidak boleh lebih dari ambang batas ketentuan. Kita berbenah di dalam negeri, namun juga tidak melupakan diplomasi dagang internasional,”tegas Ir. Baginda Siagian, Direktur Perlindungan Perkebunan.
(Penulis: Farriza Diyasti, Tulus Tri Margono, Eva Lizarmi, Direktorat Perlindungan Perkebunan)