Jakarta, Mediaperkebunan.id
ISPO baru yang ditetapkan lewat Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2020 yang ditetapkan tanggal 13 Maret, kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian nomor 38 tahun 2020 yang ditetapkan tanggal 16 November, saat ini sudah berjalan satu tahun. Pemerintah memperhatikan permasalahan di lapangan, terutama masalah yang dihadapi petani dan berusaha terus mencari jalam keluarnya. Dedi Junaedi, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Ditjenbun / Wakil Ketua I Sekretariat Komite ISPO menyatakan hal ini ketika menanggapi paparan petani kelapa sawit angggota SPKS dalam Diskusi Awal Pertemuan Nasional SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit) tahun 2021.
Salah satu masalah yang dihadapi adalah STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya). Masih sedikit petani yang mendapatkannya padahal ini adalah syarat mendapatkan sertifikat ISPO. STDB saat ini menjadi salah satu prioritas Ditjenbun. Dedi juga mengpreasiasi beberapa CSO seperti SPOS, juga organisasi petani kelapa sawit SPKS yang sudah membantu pendataan sehingga di beberapa kabupaten petani mendapatkan STDB seperti di Sekadau.
Masalah lainnya adalah legalitas lahan yaitu lahan petani yang berada di kawasan hutan. Saat ini melalui Sekretariat Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan sedang diupayakan pelepasan kawasan hutan. Di level pemerintah pusat sudah ada pokja Ditjenbun, Kementerian ATR/BPN dan Ditjen Planologi Kehutanan KLHK terutama untuk PSR yaitu melepaskan kebun petani kelapa sawit yang ada di kawasan hutan produksi konversi. Sedang untuk yang berada dalam kawasan hutan lindung tidak mungkin ada pelepasan.
“Saya yakin petani kalau dibantu stake holder lain mampu. Buktinya baru saja ada 3 koperasi petani swadaya yang dibantu perusahaan mitranya mendapat sertifikat ISPO baru. Jadi bantuan dari perusahaan dan CSO sangat diharapkan supaya petani bisa bersertifikat ISPO,” katanya.
Mengenai PSR, menurut Dedi ini program pemerintah menindaklanjuti Inpres nomor 8 tahun 2018 yaitu aspek peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Ditjenbun sudah beberapa kali merubah aturan yang mempermudah petani untuk mengakses PSR. Peranan asosiasi petani seperti SPKS sangat penting dalam pendampingan petani untuk mempercepat PSR.
Kendala terbesar PSR saat ini adalah harga TBS yang tinggi. Banyak petani yang menarik diri karena sayang dengan harga yang sangat tinggi ini. Mereka ingin menikmati harga yang belum pernah terjadi sejak mereka menanam kelapa sawit. Ini merupakan tantangan paling besar sehingga realisasi PSR tahun ini lambat sekali.
Sekjen SPKS Mansuetus Darto menyatakan sampai saat ini masih banyak petani kelapa sawit yang belum tersentuh PSR, juga penguatan SDM dan sarpras karena prosedur yang terlalu panjang dan berat. Hal ini terjadi karena tidak ada data yang akurat ditingkat petani sawit.
Dana BPDPKS juga belum mendukung percepatan target pelaksanaan sertifikasi ISPO pada petani agar kelembagaan petani kelapa sawit yang mandiri, kuat dan sejahtera. Ada banyak kepentingan lain dalam berbagai program dengan petani.
“Misalnya untuk program penguatan SDM petani, program pelatihan harus dilakukan oleh lembaga pelatihan bersertifikat. Tidak ada kepercayaan bagi dinas-dinas perkebunan di daerah untuk memberikan pelatihan SDM bagi petani,” katanya.
Tentang sawit dalam kawasan hutan selama ini petanilah yang paling banyak dituduh membuka kebun di kawasan hutan. Tetapi data Auriga dan SPOS menunjukkan hanya 1,9 juta petani dalam kawasan hutan dan 0,7 juta ha yang tumpang tindih dalam kawasan hutan. Data ini adalah petani yang luas kebunnya dibawah 25 ha.
Pemerintah telah menetapkan luas perkebunan kelapa sawit rakyat 6,7 juta ha, sedang petani dalam kawasan hutan 3,7 juta ha. Perlu diperjelas siapa petani yang berada dalam kawasan hutan yang sangat merugikan citra petani sawit berlahan 1-2 ha, jangan sampai masalah ini digunakan untuk berlindung dibalik kata perkebunan rakyat.