Jakarta, Mediaperkebunan.id — Universitas Trisakti kembali menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan berkelanjutan dengan menggelar Thought Leadership Forum bertema “Bridging Policy and Practice: Harmonizing Local Regulations with Global Sustainability Standards.” Kegiatan ini terselenggara berkat kolaborasi dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), serta didukung oleh GIZ dan Oxfam.
“Forum ini bukan sekadar diskusi,” tegas Rektor Universitas Trisakti dalam sambutannya, “tapi bentuk nyata komitmen kami sebagai One Stop Learning for Sustainable Development. Kami ingin Trisakti menjadi katalisator perubahan melalui pendidikan, riset, dan kolaborasi lintas sektor.”
Acara ini menghadirkan pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang—pemerintah, organisasi petani, pelaku usaha, hingga lembaga internasional. Di antaranya: perwakilan Kementerian Dalam Negeri, BAPPENAS, PT SMART Tbk, SPKS, BPDPKS, serta para pemimpin daerah seperti Bupati Sekadau.
Rektor Trisakti turut memberi apresiasi khusus kepada Kabupaten Sekadau. “Langkah Sekadau yang sudah menjalankan Rencana Aksi Daerah (RAD) Sawit Berkelanjutan sejak 2022 layak dijadikan contoh nasional,” ujarnya.
Bupati Sekadau, Aron, dalam sesi diskusi menyampaikan langsung tantangan di lapangan. “Kami sudah menyusun RAD KSB sebagai turunan dari rencana aksi nasional, tapi petani kami yang sudah tersertifikasi RSPO belum mendapat harga berbeda dari yang belum,” katanya. “Kalau tak ada insentif, semangat mereka menjaga praktik berkelanjutan bisa luntur.”
Menanggapi hal itu, Dr. M. Windrawan Inantha, Deputy Director Market Transformation RSPO Indonesia menyampaikan, “RSPO sudah menyediakan standar khusus untuk petani swadaya. Melalui skema book and claim, mereka bisa mendapatkan kredit RSPO yang bernilai ekonomi.”
Namun, menurut Windrawan, ini baru langkah awal. “Petani swadaya perlu ‘naik kelas’ dengan terhubung langsung ke rantai pasok fisik sawit berkelanjutan. Jika TBS mereka diterima pabrik RSPO, posisi tawar mereka otomatis naik,” jelasnya.
Windrawan juga menekankan pentingnya sinergi multipihak. “Masalah seperti akses pasar, deforestasi, atau pendanaan tak bisa diselesaikan sendiri. Kita butuh kerja kolektif antara pemerintah, perusahaan, petani, dan komunitas lokal.”
Forum ini diharapkan dapat menghasilkan langkah konkret seperti penciptaan skema pembiayaan inovatif dan penerapan prinsip pertanian regeneratif di tingkat daerah, demi memperkuat masa depan sawit Indonesia yang lebih adil dan kompetitif secara global.

