Jakarta, mediaperkebunan.id – Industri penerbangan di Indonesia kembali mendapatkan dukungan terkait pengadaan bioavtur atau sustainable aviation fuel (SAF) yang berkelanjutan dan ramah lingkungan berbasis minyak jelantah atau used cooking oil (UCO).
Dukungan kepada industri penerbangan itu ditunjukan oleh Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PRSPBPDH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan PT Noovoleum Indonesia Investama melalui sebuah perjanjian kerjasama.
Kedua pihak, seperti dikutip Media perkebunan.id dari laman BRIN, Sabtu (19/4/2025), bersepakat untuk bekerjasama mengumumkan minyak jelantah dari berbagai daerah di Indonesia sebagai pasokan produksi SAF atau bioavtur bagi industri penerbangan.
Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh Kepala PRSPBPDH BRIN, Nugroho Adi Sasongko, dan Philippe Micone selaku Chief Executive Officer (CEO) PT Noovoleum Indonesia Investama
Namun kedua pihak sepakat bahwa proses pengumpulan minyak jelantah sebelumnya harus melalui penilaian daur hidup atau life cycle assessment (LCA) terlebih dahulu.
Nugroho Adi Sasongko saat berbicara dalam DKT tersebut mengungkapkan hal itu saat berbicara dalam diskusi kelompok terpumpun atau focus group discussion (DKT/FGD) yang digelar di Gedung BJ Habibie BRIN, Jakarta, Rabu (16/4/2025).
Adapun tema DKT tersebut adalah “Rantai Pasok Minyak Jelantah Berkelanjutan untuk Sustainable Aviation Fuel (SAF): Inovasi Teknologi, Sinergi Sosial dan Analisa LCA”, dan dihadiri oleh berbagai pihak yang terkait.
Sebagai informasi, LCA ini adalah sebuah metode sistematis untuk menilai dampak lingkungan suatu produk, proses, atau sistem selama seluruh siklus hidupnya, dari ekstraksi bahan baku hingga pembuangan.
“Industri penerbangan global kini tengah menghadapi tantangan pengurangan emisi karbon, yaitu mencapai target net-zero emission (NZE) pada tahun 2060,” kata Kepala PRSPBPDH BRIN, Nugroho Adi Sasongko.
“Salah satu solusi untuk mendukung dekarbonisasi sektor ini adalah SAF atau bahan bakar pesawat ramah lingkungan. Dengan potensi penurunan emisi karbon hingga 80 persen jika dibandingkan bahan bakar fosil,” ucap Nugroho Adi Sasongko menambahkan.
Nugroho Adi Sasongko menjelaskan bahwa minyak jelantah merupakan salah satu sumber bahan baku SAF yang dianggap menjanjikan, karena menghasilkan emisi karbon yang rendah, serta tidak bersaing dengan kebutuhan pangan.
Menurut Nugroho Adi Sasongko, diperlukan inovasi dalam sistem pengumpulan, pemrosesan, dan pengawasan kualitas atau quality control untuk memastikan kualitas bahan baku yang konsisten.
Selain itu, kata dia lagi, integrasi teknologi digital seperti aplikasi mobile, Internet of Things (IoT) atau jaringan perangkat terhubung yang dapat berkomunikasi dan bertukar data; serta blockchain yang dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi rantai pasok.
Perlu diketahui bahwa blockchain merupakan sebuah buku besar terdesentralisasi yang mencatat transaksi secara transparan dan tidak dapat diubah, yang menggunakan kriptografi untuk memastikan keamanan.
Nugroho Adi Sasongko juga menekankan pentingnya LCA sebagai tools atau alat dalam mengukur dampak lingkungan dari seluruh rantai pasok, mulai dari pengumpulan hingga konversi menjadi SAF.
“LCA tidak hanya berfungsi untuk memetakan dampak lingkungan, tetapi juga memberikan wawasan untuk pengambilan keputusan yang berbasis data,” kata Nugroho Adi Sasongko.
“Selain itu, LCA juga mendukung pengembangan teknologi yang lebih ramah lingkungan, termasuk keberlanjutan di dalam industri penerbangan,” ujar lebih lanjut.
Sementara itu Philippe Micone, CEO PT Noovoleum Indonesia Investama, menyatakan keyakinannya kalau Indonesia memiliki potensi sebagai produsen minyak jelantah terbesar kedua di Asia.
“Indonesia memproduksi 2-3 juta ton per tahun minyak jelantah. Dari jumlah tersebut, 65 persen terutama berasal dari rumah tangga,” ujar Philippe Micone
“Namun, sayangnya, dari jumlah itu hanya 12 persen yang berhasil dikumpulkan. Sedangkan 35 persen minyak jelantah lainnya berasal dari restoran, hotel, dan industri,” jelas Philippe.
Untuk itu ia melihat diperlukan kolaborasi berbagai pihak termasuk dengan BRIN yang bertujuan menemukan solusi yang tepat secara teknis pengumpulan UCO dari rumah tangga dan UMKM.
Dengan demikian , kata dia lagi, hal itu bisa menguntungkan dari segi aspek sosial-ekonomi.
Philippe mengapresiasi kerja sama dengan BRIN untuk mendukung program nasional, yaitu pemanfaatan energi bersih melalui biofuel dan SAF.
Pihaknya optimis, kerja sama ini dapat menghasilkan riset dan inovasi yang dapat bermanfaat bagi semua pihak. Di samping itu juga untuk mengurangi dampak negatif UCO terhadap kesehatan dan lingkungan hidup.
Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur BRIN, Cuk Supriyadi Alinandar, dalam kesempatan yang sama menyambut baik kerja sama ini.
Dia menyampaikan bahwa selain upaya pengelolaan limbah minyak jelantah, BRIN saat ini sedang membangun fasilitas pengelolaan sampah terpadu termasuk plastik yang berpusat di KST B.J Habibie Serpong.
“Dengan adanya fasilitas terpadu ini, stakeholder baik pemerintah daerah atau pemerintah kota maupun komunitas peduli lingkungan akan disuguhkan berbagai teknologi penanganan sampah,” beber Cuk Supriyadi Alinandar
“Tentunya sebagai hasil riset BRIN yang dapat dan cocok diterapkan di masing-masing wiayahnya,” tutup Cuk Supriyadi Alinandar.