Jakarta, Media Perkebunan.id
PSR (Peremajaan Sawit Rakyat) merupakan bukti kehadiran pemerintah membantu petani kelapa sawit yang sudah ikut memberikan devisa negara. Luas kelapa sawit rakyat mencapai 6,72 juta ha sedang yang potensi untuk peremajaan 2,78 juta ha terdiri dari plasma dan swadaya 2,27 juta ha, plama PIR BUN 140.000 ha dan Plasma PIR Trans/PIR KKPA 370.000 ha.
Kesuksesan PSR merupakan salah satu legacy yang akan ditinggalkan Presiden Jokowi pada periode pemerintahan yang kedua ini. Pemerintah sudah menetapkan target tahun 2020, 2021, 2022 setiap tahun mencapai 180.000 ha.
Data sampai 27 Agustus 2020 untuk tahun ini saja rekomtek 55.135 ha atau 30% dari target sedang transfer dana BPDPKS baru untuk 5.940 ha. Sedang akumulasi sejak tahun 2017 total rekomtek 191.876 ha dan transfer dana BPDPKS untuk 142.231 ha dengan dana 3,58 triliun.
“Kalau melihat data-data diatas maka realisasi masih jauh dari target. Meskipun pemerintah sudah mensederhanakan persyaratan juga sudah menunjuk surveyor Indonesia tetapi percepatan belum seperti yang diharapkan. Masih banyak yang harus dibenahi. Harus ada upaya ekstra untuk berbenah diri supaya PSR sukses,” kata Gamal Nasir, Pembina Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia yang beranggotakan ASPEKPIR, APKASINDO, SPKS dan JAPSBI.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah pendataan petani. Data potensi PSR 2,78 juta ha masih merupakan data gelondongan yang harus dirinci lagi dimana saja petani lengkap dengan peta kebun, sampai by name by adress.
Peran pemerintah daerah lewat dinas yang membawahi perkebunan sangat penting. Sebagai ujung tombak aparat pemerintah yang berhadapan langsung dengan petani, dinas perkebunan kabupaten/kota harus proaktif melakukan pendataan. Kendala utama adalah dana. Pemda biasanya bergerak cepat kalau ada dana pusat ke sana.
“Dulu salah satu kunci sukses PIR adalah karena ada dana dari pusat ke pemda, ada honor , kendaraan operasional dan lain-lain sehingga pemda secara intens melakukan pendampingan pada petani peserta PIR. Sistim anggaran sekarang tidak memungkinkan hal ini dilakukan sehingga perlu cara lain untuk menggerakkan pemda,” katanya.
Dengan segala keterbatasan anggaran, pemda seharusnya tetap berusaha maksimal melakukan pendataan petani. Pemda tetap harus melaksanakan tugasnya melakukan pendampingan pada petani, karena kalau petani sejahtera maka tingkat perekonomian daerah tersebut juga akan meningkat.
“Harus ada perubahan mental aparat pemda. Jangan lagi bekerja kalau ada dana tetapi ini merupakan pengabdian tugas untuk kesejahteraan petani di daerahnya masing-masing. Orientasinya adalah kesejahteraan petani,” kata Gamal.
Asosiasi petani juga harus berperan untuk melakukan pendataan. Organisasi petani yang benar pasti punya data anggotanya sampai tingkat desa. Organisasi petani juga harus berbenah, jangan terus berkoar di pusat tetapi harus turun kepada anggotanya sampai tingkat desa. “Organisasi petani yang tidak bisa menunjukkan jumlah anggotanya by name by adress adalah organisasi petani abal-abal,” katanya.
Organisasi petani sebagai civil society harus terus berjuang bersama anggotanya. Organisasi petani jangan menjadi ladang bisnis pengurusnya. “Sekarang malah pengurus ikut berbisnis PSR, mereka ikut jadi kontraktor dan penangkar benih,” katanya.
Selain itu petani yang ada di kawasan hutan perlu diberi jalan keluar. Sudah ada Perpres nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan yang bisa digunakan, asal Permen KLHK yang bertentangan Perpres ini diganti.
Kalau untuk kepentingan petani sebenarnya pemerintah tidak perlu rumit-rumit membuat berbagai aturan, cukup diputihkan saja. Aturan soal pelepasan kawasan hutan bukan kitab suci jadi masih bisa dirubah. Pemerintah jangan mempersulit diri dengan berbagai aturan yang membuat petani dalam kawasan hutan tidak punya jalan keluar.
“Pemutihan hanya berlaku untuk petani dengan maksimal luas lahan tertentu misalnya 8 ha saja. Tetapi kalau ada “petani” yang lahannya dalam kawasan hutan ratusan hektar lakukan saja penegakan hukum,” kata Gamal lagi.