2021, 27 April
Share berita:

JAKARTA, Mediaperkebuan.id – Direktur Assurance Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) sekaligus Plt Deputi Direktur RSPO Indonesia, Tiur Rumondang mengungkapkan, industri kelapa sawit memang merupakan sektor yang kurang aman bagi perempaun, dan banyak tantangan yang harus dihadapi.

Secara kondisi perempuan secara natural tidak bisa dihindari dan mengambil pekerjaan itu di sektor perkebuna kelapa sawit, perempuan juga memiliki keunikan tersendiri. “Sebab itu tugas kita lah untuk membuat payung hukukm supaya perempuan di sektor perkebunan kelapa sawit bisa terlindungi, dan kebijakan ini mesti dipatuhi seluruh anggota RSPO,” ujar Tiur.

“Sebab itu perlu dipastikan praktik berkelanjutan dalam melindungi perempuan di sektor perkebunan dilakukan dan standar RSPO yang disediakan juga untuk memastikan ada forum plaform untuk para perempuan,” kata Tiur dalam Webinar FGD Sawit Berkelanjutan Vol 6, bertajuk “Ketangkasan Perempuan Sawit Indonesia”, di Jakarta, Selasa (27/4).

Sementara itu Group Sustainability Lead Cargill Tropical Palm (CTP), Yunita Widiastuti menyebutkan, Cargill Tropical Palm dari hampir 18,000 karyawan 11 persen adalah pekerja perempuan dengan level supervisor tingkat 2 ke atas. Sementara untuk level manger 1 & 2 mencapai 3,3 persen.

Menurut Yunita, Cargill telah berkomitmen untuk melindungi hak asasi manusia, memperlakukan orang dengan martabat dan rasa hormat ditempat kerja dan di masyarakat di mana perusahaan melakukan bisnis, dan beroperasi secara bertanggung jawab di keseluruhan industri pertanian, pangan, keuangan, dan industri lainnya.

“Cargill telah berupaya meningkatkan keberadaan perempuan yang terus bertambah di bidang perkebunan, menyediakan sumber daya bagi para calon karyawan, dan memotivasi para perempuan yang sedang mempertimbangkan karir di industri ini,” ujar Yunita.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware mengatakan, beberapa investigasi dan penelitian mengungkap bahwa perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan. Dibeberapa kasus, pekerja perempuan bahkan tidak dihitung sebagai pekerjaan yang diperhitungkan dalam ekonomi nasional.

Baca Juga:  Begini Ancaman Ganoderma saat Ini: 2050 Bisa Tak Ada Sawit

“Ketika Perempuan/istri/Ibu melakukan pekerjaan di ranah produktif, masih dianggap membantu sehingga ‘sepertinya’ tidak terlihat serta tidak masuk dalam statistik formal,” tukas Inda.

Rukaiyah Rafiq dari Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI) mnegatakan, perempuan sawit bisa dibagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok petani swadaya dari transmigran, biasanya petani sawit perempuan ini memiliki lahan terbatas, hanya mengelola 2 – 3 hektar lahan.

Jika transmigrasi berkaitan dengan dengan perkebuna Kelapa sawit, maka lahan mayoritas sudah menjadi kelapa sawit. “Perempuan sebagai kepala keluarga ikut dalam mengelola kebun keluarga, biasanya keterlibatan perempuan tersebu guna mengurangi biaya,” tutur Rukaiyah Rafiq yang biasa dipanggil Uki.

Sementara kelompok kedua yakni petani dari masyarakat lokal dengan kepemilikan lahan yang beragam, lantas kebun sawit bukan menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Sementara perempuan masih memiliki ruang sendiri, kebun karet, umo, dan pekarangan.

“Untuk kelompok ini peran perempuan biasanya hanya terbatas pada mengutip brondol dan nebas piringan, dan perempuan hanya berkerja jika lahan keluarga sekitar 2 hektar. Bila di atas 2 hektar biasanya petani memiliki pekerja, kebun sawit dianggap memiliki resiko tinggi yang tidak cocok untuk perempuan,” kata Uki. (YR)