Palembang, Mediaperkebunan.id
Pekan lalu dilakukan penandatanganan Kesepakatan Kerjasama/ MoU Pengembangan Kemitraan Produksi dan Pemasaran Produk Samping Kelapa Berkelanjutan Berbasis Korporasi Petani Di Provinsi Sumatera Selatan antara Presiden Direktur PT. Mahligai Indococo Fiber (Pelaku usaha Sabut Kelapa/ coco fiber dari Bandar Lampung) dengan Komisaris PT. Raksasa Cipta Niscala; Direktur CV. Amran Sulaiman (pelaku usaha Charcoal dari Sumatera Selatan) dengan 20 petani/ketua kelompok tani kelapa prov. Sumatera Selatan serta Direktur CV. Agro Mandiri Internusa (Pelaku usaha Batok Kelapa dan Kopra dari Sumatera Selatan) dengan 20 petani/ketua kelompok tani kelapa prov. Sumatera Selatan.
Penandatanganan disaksikan Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Fakhrurrozi Rais dan Nurmansyah, Kasubdit Pemasaran Dit P2H Perkebunan mewakili Direktur P2H BUN. Menurut Fakhururrozi arti penting dari MoU ini adalah pemerintah memperhatikan petani kelapa di Sumsel. Dengan MoU ini diharapkan petani memasok industri kelapa di Sumsel dan ekspor kelapa Sumsel yang selama ini didominasi kelapa bulat akan bergeser ke produk olahan.
Menut Fakhururrozi, Sumsel merupakan provinsi perkebunan, karena alokasi untuk perkebunan sesuai RTRW Sumsel 2016-2036 adalah yang terbesar 3.802.422 ha. Paling luas adalah karet 1,3 juta ha, kemudian kelapa sawit 1,1 juta ha, kopi 250.000 ha sedang kelapa urutan ke empat 65.242 ha dan paling besar ada di Kabupaten Banyuasin seluas 48.053 ha. Produksi kelapa Sumsel 57.570 ton dan dari Banyuasin 46.496 ton.
Disbun Sumsel punya beberapa program pengembangan kelapa, terakhir tahun 2019 pemeliharaan Blok Penghasil Tinggi dan Pohon Induk Terpilih seluas 100 ha di Banyuasin berupa pemupukan. Masalah perkelapaan adalah kepemilikan oleh petani kecil dengan luas lahan terbatas; tidak ada kelembagaan petani semua tergantung pada pengumpul; nilai yang diterima petani kelapa rendah karena menjual butiran; harga yang tidak stabil dan merata antar daerah; tidak ada jaminan pemasaran (tidak ada bapak angkat); produksi rendah (1,1 ton kopra/ha); umur tanaman semakin tua dan kurang terpelihara; terbatasnya ketersediaan benih unggul.
Solusinya adalah perlu ada kelembagaan semacam UPPK (unit Pengolahan dan Pemasaran Kelapa); hilirisasi produk utama dan ikutan; perlu regulasi terkait harga yang pantas diterima petani; perlu ada kebijakan pemerintah untuk pemasaran produk kelapa baik dalam negeri dan ekspor; perbaikan teknik budidaya kelapa; peremajaan tanaman tua.
Rudi Apriani, Kabid P2HP Disbun Sumsel minta kelompok tani yang menandatangani MoU itu segera membuat UPPK. Secara hukum memang belum ada aturannya tetapi buat saja dulu nanti akan menyusul. Salah satu dampak dari MoU ini Rudi mengharapkan, sabut kelapa yang selama ini dibakar begitu saja bisa diolah menjadi coco peat dan coco fiber dan diekspor.
Selama ini sabut kelapa dibuang begitu saja dan dibakar, seperti di CV Agro Mandiri, eksportir kelapa bulat. Tiap bulan mengekspor 100.000 butir kelapa bulat. Potensi sabut kalau jadi coco fiber 12.500 kg kali Rp3000/kg dan coco peat Rp12.500 kg x Rp2000 adalah Rp62,5 juta/minggu. Produksi kelapa Sumsel 57.570 ton kopra atau setara 230.280.000 butir/tahun maka kerugian Sumsel akibat dari sabut kelapa yg dibuang atau dibakar, Rp.143.925.000.000/tahun atau kehilangan devisa USD10.280 juta ekspor olahan sabut kelapa.