2021, 31 Maret
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

Luas kebun sawit dalam kawasan hutan sesuai kesepakatan semua instansi yang melakukan pendataan adalah 3.372.615 ha, terdiri dari hutan konservasi 91.047 ha, hutan lindung 155.119 ha, hutan produksi tetap 501.572 ha, hutan produksi terbatas 1.497.421 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.127.428 ha.

Dari kebun sawit dalam kawasan hutan ini yang dalam proses pelapasan kawasan hutan 761.615 ha sedang sisanya 2.611.000 ha tidak ada proses permohonan. Empat provinsi dengan perkebunan kelapa sawit paling banyak di kawasan hutan adalah Riau, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Ruandha Agung Sugardiman, Plt Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan hal ini dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI.

Di Riau kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan 1.423.629 ha, yang telah mendapat SK Pelapasan Kawasan Hutan 2.714 ha, dalam proses pelepasan kawasan 71.641 ha, tidak ada proses permohonan 1.352.265 ha. Kalimantan Tengah kebun sawit dalam kawasan hutan 809.521 ha, belum ada yang sudah mendepat SK pelepasan kawasan hutan, dalam proses pelepasan kawasan hutan 550.894 ha dan tidak ada proses permohonan 258.627 ha.

Sumatera Utara kebun sawit dalam kawasan hutan 301.010 ha, belum ada yang mendapat SK pelepasan, dalam proses pelepasan 15.063 ha, tidak ada proses permohonan 203.699 ha. Sumatera Selatan kebun sawit dalam kawasan 210.444 ha, telah mendapat SK pelepasan 404 ha, dalam proses permohonan pelepasan 6.341 ha dan tidak ada permohonan 203.699 ha.

Penyelesainnya menurut Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggunakan mekanisme pasal 110 A dan 110 B UU Cipta Kerja berupa sanksi administratif. Sebagai tindak lanjutnya dibentuk Satgas Penanganan Perambahan dan Perusakan Hutan.

Baca Juga:  Produksi Seret Harga Bertahan Tinggi

Langkah pertama satgas ini adalah identifikasi data perambahan melalui analisis overlay peta satelit, penafsiran citra satelit dan lokasi yang sudah dibangun serta sumber data lainnya. Melakukan verifikasi lapangan lokasi perambahan hutan dan perusakan hutan (titik koordinat lokasi dan status pengelolaan hutan dan kepemilikan lahan).

Perintah penyelesaian dan apraisal terhadap pihak ketiga terhadap luasan perambahan hutan perusakaan hutan. Pegenaan sanksi administratif. Sebagai tindak lanjutnya adalah proses sanksi administratif LHK berupa denda administrasi dan paksaan badan).

Pasal 110 A dikenakan pada kebun yang sudah punya izin tetapi ada dalam kawasan hutan. Bila ada dalam kawasan Hutan Produksi Konversi penyelesaiannya selain denda adminstrasi juga persetujuan pelepasan kawasan. Bila dalam kawasan hutan lindung maka persetujuan melanjutkan usaha dalam satu daur.

Pasal 110 B dikenakan pada perusahaan yang sejak awal memang sudah berada dalam kawasan hutan tanpa izin yang sah dan sudah melakukan kegiatan. Bila berada dalam hutan produksi, perusahaani boleh tetap beroperasi setelah membayar denda administratif tetapi lahannya tetap kawasan hutan, dengan persetujuan penggunaan kawasan hutan. Bila berada dalam hutan lindung selain membayar denda admistratif juga harus mengembalikan kawasan hutan pada negara.

Denda yang dikenakan bervariasi 20, 40 dan 60% tergantung tutupannya. “Misalnya sebuah perusahaan menggunakan kawasan hutan 1000 ha, sudah beroperasi 15 tahun. Berarti sudah menghasilkan 10 tahun. Bila 1 ha menghasilkan Rp25 juta/tahun maka dendanya 20% yaitu Rp5 juta/tahun. Sudah 10 tahun Rp50 juta/ha ada 1.000 ha maka dendanya adalah Rp50 miliar,” kata Ridho.

Sedang untuk perkebunan rakyat bila terbukti sudah diam di sekitar kawasan hutan selama minimal 5 tahun dan luas kebun maksimal 5 ha maka diijinkan mengelola kebun tanpa denda administratif. Bila dalam kawasan hutan produksi konversi dilepaskan sedang dalam hutan lindung masuk dalam mekanisme perhutanan sosial.

Baca Juga:  VRPO Lebih Sehat

Darori, anggota Komisi IV dari Gerindra minta KLHK berhati-hati soal petani ini. Darori yakin kebun petani yang berada dalam kawasan hutan hanya 20% dimiliki petani yang memang benar tinggal di sekitar areal hutan dan kebunnya pasti tidak sampai 5 ha. Sisanya adalah milik petani berdasi di kota yang kebunnya puluhan ha tetapi dibagi-bagi jadi 5 ha per orang pada penggarapnya sehingga seolah-olah menjadi kebun rakyat.