Jakarta, mediaperkebunan.id – Banyak kisah kebanggaan tentang sawit yaitu sebagai penghasil devisa dan penyerap tenaga kerja yang besar. “Itu semua benar. Tetapi sekarang dalam refleksi May Day ada kabar buruk, yaitu ketidakpastian hukum. Presiden Prabowo tahun 2017 pernah menulis buku Indonesia Dalam Paradoks. Sudah paradoks menghadapi ketidakpastian hukum, saya tidak dapat membayangkan situasi ini,” kata Sumarjono Saragih, Ketua Bidang Sumber Daya Manusia, GAPKI pada “Diskusi May Day 2025 Konfederasi Sarbumusi, Ekonomi Menghimpit Buruh Menjerit”.
Industri sawit yang sangat besar ibaratnya sedang diurus dengan cara yang kecil. Industri besar tetapi diberi ketidakpastian yang sangat mencemaskan. “Ketidakpastian adalah realitas dan tidak ada masalah selama bisa diukur. Ketidakpastian adalah bagian dari hidup seorang pengusaha. Ada ketidakpastian, ada risiko, bisa diukur, ambil keputusan investasi. Masalahnya dalam industri sawit saat ini tidak bisa diukur karena bukan ketidakpastian ekonomi tetapi hukum,” kata Sumarjono lagi.
GAPKI bersama serikat buruh saat ini sedang berbenah bagaimana supaya sawit memberikan kesejahteraan pada buruh. Bersama konfederasi buruh termasuk Sarbumusi mendorong platform bersama untuk mendorong kepatuhan perusahaan dan perlindungan pekerja dengan berbagai aspeknya. “Di saat sedang semangat-semangatnya, bahkan ILO memuji inisiatif ini, dimana dalam industri sawit yang sangat kompleks, pengusaha dan buruh bisa duduk bersama, sebuah kemajuan yang layak dibanggakan tiba-tiba datang kebijakan yang sangat mencemaskan,” katanya.
Sumarjono menganalogikan apa yang terjadi sekarang sama dengan pesawat yang sedang menghadapi turbulensi besar. Pilihan penumpang hanya pasrah dan berdoa dengan doa yang paling sungguh-sungguh karena tidak ada pilihan lain. Bila pesawat berada dalam situasi ini dalam jangka waktu lama dan tidak menemukan ruang udara yang membuat bisa terbang nyaman maka dampaknya banyak seperti penumpang terluka, pewasat porak dan poranda bahkan fatal pesawat jatuh.
“Hal yang sama bisa terjadi pada industri sawirt. Dari 16 juta ha konon ada 3 juta ha yang terindikasi masuk kawasan hutan. Kebun itu ada yang dimiliki petani dan korporasi bahkan sudah memiliki HGU. Sekarang dinyatakan masuk kawasan hutan, dipasang plang kebun ini disita negara. Kalau sudah seperti ini maka pemilik kebun akan membiarkan saja kebun itu,” katanya.
Jika benar ada 3 juta ha maka dari kawasan ini akan dihasilkan CPO yang tidak berkelanjutan atau CPO hitam. Konsekuensinya dipasar tidak ada yang mau embeli. Pada saat yang sama berkelanjutan didorong, sisi lain ada 3 juta ha yang tidak berkelanjutan dalam konteks sertfikasi sustainable.
“Rasio pekerja sawit adalah 1 orang 1 ha, 16 juta ha ada 16 juta pekerja termasuk pendukung dan industri hilirnya. Jika ada 3 juta ha sawit yang tidak bisa dikomersialkan, bahkan ditebang maka ada 3 juta orang yang berpotensi kehilangan pekerjaan. Produksi CPO 3 juta ha juga tidak bisa dipanen.
Ini merupakan skenario paling buruk jika ketidakpastian hukum berlangsung dalam waktu lama. Setelah terhimpit, menjerit kemudian kolaps. “Pengusaha dan buruh harus membuat narasi besar paradoks bahwa Indonesia mencari investor dari luar negeri, sedang investor dalam negeri yang sudah ada malah dihimpit. Saya akui masih ada kekurangan dan kita sama-sama sedang memperbaiki.
Jangan bebek dibunuh kerena nanti kita tidak bisa mendapatkan lagi telurnya. Buruh perlu bersuara kencang soal potensi hilangnya pekerjaan 3 juta orang, ” kata Sumarjono. Dalam situasi ini maka yang perlu dilakukan adalah mendorong pemerintah supaya melihat industri sawit secara adil. Mafia sawit adalah istilah yang sering digunakan sebagai bentuk kecurigaan pada pengusaha.
Jangan lupa 42% kebun sawit dimiliki petani dengan segala macam ukurannya. Apakah mereka akan dibiarkan bertarung sendiri sampai terhempas. Ada 58% lahan milik korporasi yang sedang berusaha meraih sertifikat RSPO dan ISPO sebagai tanda sedang berusaha patuh. Sawit tidak boleh gagal karena merupakan bagian dari hidup kita. Sawit adalah kita,” kata Sumarjono. Impikasi ketidakpastian hukum dalam jangka lama adalah kekacauan bahkan fatalitas. Pengusaha dan buruh harus membuat narasi agar pemerintah bisa melihat secara komprhensif sehingga kebijakan tepat dan berkeadilan.