JAKARTA, Mediaperkebunan.id – Direktorat Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) mendorong kesejahteraan petani sawit. Nilai ekspor produk sawit sebagai sumber devisa yang sebesar 20,25 milliar dollar AS harus linear dengan kesejahteraan petani sawit.
Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Ditjen Perkebunan Kementan Heru Tri Widarto menyebutkan, total luas lahan sawit 16,38 juta hektar (Ha), dan luas sawit rakyat 6,72 juta Ha. Sementara itu, potensi peremajaan sawit rakyat 2,78 juta Ha dengan sebaran dominan di Sumatera dan Kalimantan.
“Target PSR periode 2020-2022 tumbuh 180 ribu hektar setiap tahunnya. Targetnya di 21 provinsi dan 108 kabupaten/kota,”ujar Heru dalam diskusi virtual bertajuk “Peranan Kelapa Sawit Dalam Pengentasan Kemiskinan dan Menuju Gratieks” yang digelar Forum Wartawan Pertanian, Jakarta, Rabu (31/3).
Secara keseluruhan Ditjen Perkebunan menargetkan nilai ekspor komoditas utama , andalan dan pengembangan perkebunan periode 2020-2024 sebesar 74,31 milliar dollar AS. Itu setara dengan 1.040,33 trilliun rupiah.
Untuk mengejar seluruh target tersebut Ditjen Perkebunan mendorong pengembangan logistik benih, meningkatkan produksi dan produkivitas, meningkatkan nilai tambah, daya saing dan ekspor.
“Kami juga mendorong modernisasi perkebunan , pembiayaan melalui KUR (kredit usaha rakyat), peningkatan kapasitas SDM (sumber daya manusia), optimasi jejaring stakeholder,” kata Heru Tri
Dijen Perkebunan juga menargetkan selama 2020-2024 produksi perkebunan naik 7 persen per tahun, penyerapan tenaga kerja 5 persen, peningkatan PDB perkebunan 5 persen per tahun serta mengurangi losses 3 persen.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute Tungkot Sipayung menegaskan faktanya, penambahan perkebunan kelapa sawit menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan turun seiring dengan meningkatnya produksi CPO (crude palm oil)
Pertumbuhan perkebunan sawit di setiap daerah berkontribusi menurunkan kemiskinan, kondisi yang sama dialami oleh Malaysia, Thailand, Papua Newgini. “Jadi, di mana ada perkebunan sawit di situ kemiskinan turun karena ada tenaga kerja yang masuk ke sana. Tumbuh pusat pusat pertumbuhan ekonomi baru,”ujar Tungkot.
Kondisi itu beber Tungkot dialami oleh provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi, Kalimantan Selatan, serta Papua dan Papua Barat. “Pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) kabupaten sawit lebih cepat dibanding kabupaten non sawit,”paparnya.
Pengamat Kehutanan dari Universitas Indonesia (UI) Bedjo Santoso mengungkapkan industri kelapa sawit mampu menyerap 16,2 juta orang tenaga kerja. Rinciannya, 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Devisa kelapa sawit tahun 2018 sebesar 240 trilliun rupiah. Itu sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
Makanya dirinya tak sepakat dengan kebijakan moratorium sawit (Inpres No.8 Tahun 2018), sebab itu tidak jelas arahnya dan menggerogoti tulang punggung ekonomi nasional. (YR)