Persaingan bisnis sudah biasa. Tetapi bisnis dikaitkan dengan HAM atau masalah lingkungan merupakan hal yang kompleks atau bahkan sangat kompleks. Bukankah bisnis itu sendiri merupakan bagian kehidupan manusia yang sangat dikaitkan dengan kesuksesan atau bahkan martabat suatu bangsa? Bisnis inilah yang membuat suatu bangsa menjadi bangsa yang kaya. Bisnis itulah yang menciptakan roda kemajuan ekonomi. Dan bisnis itulah yang membuat peradaban demi peradaban berkembang.
“Negeri tuan-tuan miskin karena banyak kesalahan-kesalahan”, begitulah kata Multatuli dalam novelnya Max Havelaar atau Lelang Kopi Hindia Belanda yang ditulisnya pada 1859. Pada tahun 1820 pendapatan per kapita Taiwan hanya setengah pendapatan per kapita Hindia Belanda (Indonesia). Sekarang (2016) pendapatan per kapita Taiwan sudah mencapai US$ 22.453, sedangkan pendapatan per kapita Indonesia masih berada pada tingkat US$ 3.347, atau hanya 14.5 % dari pendapatan Taiwan. Demikian pun perbandingan pendapatan Korea, Thailand dan Malaysia pada tahun 1820 tidak jauh atau bahkan berada di bawah pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 1820, sekarang Korea Selatan sudah mencapai US$ 27.539/kapita, Malaysia US$ 9.360/kapita, dan Thailand US$ 5.899/kapita.
Menarik untuk diperhatikan bahwa pada 1820 situasi di Hindia Belanda masih sebagian besar hutan belantara. Bahkan pembalakan hutan secara besar-besaran dimulai pada awal 1970-an dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Tentang Kehutanan Tahun 1967. Berdasarkan Undang-undang ini, pengelolaan hutan dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi institusi yang melandasi sistem eksploitasi hutan alam tropika Indonesia. Model pengusahaannya dikenal dengan model TPTI (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia). Model eksploitasi hutan alam kemudian berlanjut dengan model Hutan Tanaman Industri (HTI), sayangnya jenis tanaman yang diusahakan dalam HTI ini adalah jenis atau spesies tanaman asing seperti Acacia sp.
Pengusahaan hutan dengan model HPH ini membuat kehutanan dijuluki penghasil “emas hijau” atau sumber devisa hijau, yang nilainya hanya berada di bawah hasil tambang migas. Ternyata, kejayaan model HPH ini tidak berlanjut lama. Bahkan sejak tahun 1980an, nilai devisa dari hasil penjualan kayu sudah mulai melemah. Pelemahan pendapatan devisa dari kayu yang berasal dari hutan alam juga berkaitan dengan tekanan masyarakat dunia yang lebih berpihak kepada hutan. Masyarakat dunia melihat hutan sebagai paru-paru dunia, sebagai life support systems.
Sejalan dengan meredupnya gegap-gempita eksploitasi hutan, lahirlah gegap gempita baru di pedalaman Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau Papua. Gegap gempita tersebut adalah berkembangnya perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat terutama setelah lahirnya dukungan PBSN (Perkebunan Besar Swasta Nasional). Mengapa perusahaan perkebunan kelapa sawit jumlahnya meningkat sedangkan perusahaan perkebunan lainnya menurun? Fenomena ini sangat menarik, yaitu perkembangan perkebunan kelapa sawit meningkat dari sekitar 200 ribu hektar pada 1970 menjadi lebih dari 11 juta hektar pada saat ini atau meningkat atau meningkat 5.500% selama 46 tahun; atau meningkat hampir 120 %/tahun. Luas perkebunan kelapa sawit yang telah melebihi 11 juta hektar tersebut ternyata sudah jauh lebih luas dari luas negara Korea Selatan ( sektar 10 juta hektare).
Perkembangan perkelapa-sawitan Indonesia yang sangat pesat tersebut, atau dalam istilah ilmu ekonomi sering disebut perubahan non-marginal, yang melesat sejak 2 dekade sebelum abad ke-20 berakhir, tentu sangat menarik perhatian dunia. Apalagi perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit, yang dikuasai, dikontrol dan di bawah perusahaan perkebunan besar ini, berada dalam situasi dimana trend dunia memang mengarah kepada makin kentalnya faham environmentalist. Dengan demikian sangatlah sederhana untuk memperkirakan bahwa masyarakat dunia terutama masyarakat di negara maju akan menggunakan kekuatan pengaruhnya dalam menekan negara-negara berkembang yang dipandang tidak menjaga lingkungan hidupnya sesuai dengan cara pandang atau faham mereka. Ini adalah suatu realitas.
Apa dan bagaimana sikap kita terhadap realitas tersebut? Sebagai suatu realitas juga bahwa negara-negara berkembang (negara-negara yang sebelumnya berada di bawah jajahan negara maju), pada umumnya masih tergantung kepada negara-negara maju dalam hampir segala hal, terutama dalam bidang ekonomi dan teknologi. Dengan perkataan lain bahwa kita harus berpikir keras mengingat kesalahan membuat langkah akan berakibat kerugian besar bagi Indonesia yang mana Indonesia tidak semuanya menggantungkan kehidupannya kepada kelapa sawit. Namun demikian, tekanan global terhadap kelapa sawit apabila berlanjut juga akan merugikan para petani, perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perusahaan yang bergerak pada bidang usaha lainnya. Artinya, secara keseluruhan kemungkinan terjadi dampak rambatan negatif yang besar dari menurunnya ekonomi kelapa sawit.
Untuk mengetahui langkah apa yang terbaik dilakukan Indonesia dalam menghadapi tekanan dunia terhadap kelapa sawit diperlukan suatu studi yang mendalam. Studi ini mencari formula kira-kira formula apa yang akan dijalankan. Apabila ada peluang: win, loss dan draw, maka ada 9 kotak kombinasi dari tiga alternatif output dari setiap solusi tersebut, adapun alternatif solusi win-win hanyalah 1 kotak! Ada pelajaran penting dari pengalaman Eropa juga, yaitu setelah perang dunia ke dua (PD II) selesai dengan kekalahan berada di pihak Jerman dan Itali, ternyata Jerman dan Itali tidak dimatikan atau ditekan supaya menjadi miskin. Mengapa? Karena apabila Jerman dan Itali dimiskinkan, maka Eropa secara keseluruhan juga akan merugi. Demikian pun apabila Indonesia dimiskinan, dunia keseluruhan akan merugi.
Mudah-mudahan pengalaman Eropa pasca PD II di atas menjadi insight bagi Eropa dan juga bagi Indonesia bahwa kerusakan lingkungan akan berbalik menjadi kebaikan lingkungan apabila pemiskinan dapat diubah menjadi pengayaan. Hal ini akan terwujud apabila model pembaharuan perkelapasawitan Indonesia yang lebih bernilai tambah tinggi (pengayaan) dan lebih ramah lingkungan dapat diwujudkan segera. Penulis: Agus Pakpahan