Keberhasilan BPDKS tidak relevan diukur dari naik turunnya harga CPO karena lembaga tersebut bukan lembaga penyangga harga CPO. Ukuran keberhasilannya diukur dengan apa yang menjadi amanah Undang-Undang No.39/2014 tentang Perkebunan kepadanya.
Pada bulan Juli 2016 ini, Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDKS) atau sering disebut Dana Sawit telah genap satu tahun. Itu berarti juga pungutan ekspor (export levy) yang besarnya USD 50 per ton CPO telah berlangsung satu tahun. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dana Sawit yang berhasil dikumpulkan digunakan untuk pembiayaan berbagai kegiatan yang diamanahkan UU juga. Namun berapa besar dan kegiatan apa saja yang dibiayai Dana Sawit belum diketahui publik?
Kehadiran Dana Sawit sesungguhnya dapat membiayai banyak hal yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit yang kini bekembang pada 190 kabupaten. Dengan volume produksi CPO 30 juta ton saja per tahun, Dana Sawit dapat terkumpul sekitar USD 15 juta atau sekitar Rp 19 triliun. “Dengan dana sebesar itu, jika dimanfaatkan seefektif mungkin untuk kelima kegiatan tersebut, akan mampu melakukan perbaikan yang signifikan khususnya pada perkebunan sawit rakyat,” himbau Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung.
Sebab, menurut Tungkot dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan yang menjadi landasan penghimpunan dan penggunaan Dana Sawit, Pasal 93 ayat 4 mengamanatkan bahwa penggunaan Dana Sawit ditetapkan pada lima hal yakni : (1) Pengembangan Sumber Daya Manusia, (2) Penelitian Pengembangan, (3) Promosi Perkebunan, (4) Peremajaan Tanaman Perkebunan dan (5) dan/atau Sarana dan Prasarana Perkebunan. Bagaimana progress penggunaan Dana Sawit pada kelima kegiatan tersebut perlu dipublikasikan sebagai pertanggungjawaban publik dari BPDKS.
Sehingga selain untuk membiayai kelima kegiatan yang diamanahkan UU tersebut, BPDKS juga menggunakan Dana Sawit untuk subsidi biodiesel dalam memberhasilkan program mandatori biodiesel dari B-15 tahun 2015 dan B-20 tahun 2016. Meskipun UU 39/2014 tidak mengamanahkan penggunaan Dana Sawit untuk subsidi biodiesel, namun mengingat program mandatori biodiesel tersebut sangat penting bagi industri minyak sawit dan bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan, maka pemerintah melalui BPDKS juga menyalurkan Dana Sawit untuk subsidi biodiesel. Oleh karena itu, bagaimana penyaluran Dana Sawit untuk membiayai program mandatori biodiesel tersebut dan bagaimana capaianya tentu kita tunggu dari laporan BPDKS?
Para pelaku sawit memiliki ekspektasi tersendiri bahwa kehadiran BPDKS akan mendongkrak harga CPO didalam negeri. Ekspektasi tersebut yakni mengkaitkan harga CPO dengan kehadiran Dana Sawit sesungguhnya tidak relevan karena BPDKS bukanlah lembaga penyangga harga CPO. Naik turunnya harga CPO ditentukan oleh mekanisme pasar internasional sehingga tidak relevan untuk dijadikan indikator keberhasilan BPDKS.
“Maka indikator keberhasilan BPDKS harus diukur dengan pencapaian misi yang diamanahkan Undang-Undang kepadanya sebagaimana dikemukakan diatas,” terang Tungkot.
Akhirnya, Tungkot menjelaskan bahwa dalam satu tahun BPDKS kiranya waktu yang paling tepat untuk mengevaluasi pencapaian misi BPDKS , membenahi tatakelola (good government governance) dan menetapkan berbagai perbaikan kedepan. “Alokasi pembiayaan pada lima kegiatan yang diamanahkan Undang-Undang Perkebunan khususnya replanting dan peningkatan produktivitas sawit rakyat sangat diperlukan kedepan, agar sawit rakyat dapat mengejar ketertinggalannya dari pelaku sawit lainnya,” pungkas Tungkot. YIN