Jakarta, Mediaperkebunan.id -Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Eddy Pratomo menyampaikan, Perpres No. 5 Tahun 2025 yang merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja, memang membawa semangat percepatan penyelesaian persoalan tumpang tindih kawasan hutan. Meski demikian, regulasi ini juga memunculkan kekhawatiran akan potensi pengabaian prinsip-prinsip keadilan ekologis dan sosial yang telah ditegaskan dalam konstitusi, UU Cipta Kerja, putusan Mahkamah Konstitusi, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Hal ini disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) “Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, Menuju Tata Kelola Hutan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan” yang diselenggarakan Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH FH), Fakultas Hukum Universitas Pancasila.
Koordinator I Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung/Wakil Ketua 1 Identikasi dan Verifikasi Satgas PKH, Ardito Muwardi menjelaskan, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dibentuk dalam situasi yang dianggap mendesak oleh pemerintah. Pembentukan Satgas PKH juga berkaitan dengan kebutuhan negara akan pemasukan untuk mendukung pembangunan nasional. Jika langkah ini dipandang sebagai sebuah inovasi, sangat penting mendapat masukan dan penguatan dari berbagai pihak.
“Tujuan akhirnya tetap untuk kemakmuran rakyat. Tapi kita juga perlu mendorong kementerian dan lembaga terkait agar segera menyelesaikan sengketa produk hukum yang tumpang tindih, sehingga persoalan bisa diurai tanpa melanggar hak-hak masyarakat dan tetap menjaga iklim investasi,” jelas Ardito.
Hingga 24 April 2025, Satgas PKH telah memverifikasi total lahan seluas 620 ribu hektare. Dari jumlah tersebut, sebanyak 399 ribu hektare telah diproses, dan sekitar 221 ribu hektare telah diserahkan kepada PT Agrinas pada tahap pertama. Pada tahap kedua, Satgas PKH merencanakan penyerahan tambahan seluas 216 ribu hektare kepada PT Agrinas, serta penguasaan kembali oleh negara atas lahan seluas 75 ribu hektare.
Rencana kerja tahap kedua ini akan difokuskan di enam provinsi, yakni Aceh, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, dengan total luasan sasaran mencapai 1 juta hektare. Ketua Aspekpir Indonesia, Setiyono menilai, terbitnya Perpres No. 5 Tahun 2025 justru menimbulkan keresahan di kalangan petani sawit, terutama mereka yang lahannya telah bersertifikat resmi.
“Kami ini selaku petani sawit perusahaan rakyat yang dulu PIR Transmigrasi, kan sudah bersertifikat. Sudah 30 tahun bersertifikat, eh, tahu-tahu ditunjuk jadi kawasan hutan. Nah, itu kan kami jadi jantungan,” ujar Setiyono.
Karena itu, dia berharap, dengan adanya UU Cipta Kerja dan Perpres No. 5 Tahun 2025, permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik, sehingga tidak menambah keresahan di kalangan petani, tetapi justru memberikan solusi yang mendorong kesejahteraan mereka.
“Apalagi, sesuai undang-undang adalah semua kekayaan bumi laut, itu adalah kemampuan rakyat. Jangan kami jadi tidak mamur lagi gara-gara peraturan-peraturan ini,” imbuh dia.
Pakar hukum kehutanan dari Universitas Al Azhar Indonesia, Sadino, menegaskan bahwa Perpres Nomor 5 Tahun 2025 secara eksplisit menjadikan kawasan hutan sebagai objek utama penertiban. Persoalan kawasan hutan tidak dapat dilepaskan dari sejarah penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) pada tahun 1982, yang saat itu berlaku untuk seluruh provinsi di Indonesia.
Padahal, sebelum peta TGHK tersebut diterbitkan, sudah ada peta-peta administrasi tanah yang lebih dulu digunakan masyarakat dan pemerintah daerah. Namun, justru dari peta TGHK inilah lahir dasar penetapan kawasan hutan secara nasional.
“Masalahnya sekarang ini apa yang diamanatkan dalam TGHK itu tidak terselesaikan, ada diktum-diktum di dalam menentukan kawasan hutan itu sampai sekarang belum dijalan. Artinya dijalan tapi belum bisa optimal,” kata dia.
Misalnya, kenapa hak-hak masyarakat tetap ada di sana yang tidak terselesaikan, malah menimbulkan konflik, karena sesungguhnya menentukan kawasan hutan itu sudah menjadi kawasan hutan atau belum, itu tidak serta-merta bisa diputuskan begitu saja, karena ini adalah produk administratif.
“Karena ini adalah produk administratif, maka langkah-langkah dalam menentukan kawasan hutan yang ditunjuk juga harus memperhatikan adanya tata batas. Misalnya, jika saya menunjuk seorang wanita dan mengatakan dia istri saya, apakah dia benar-benar istri saya hanya dengan pernyataan itu? Begitu juga dengan penunjukan tanah, jika saya menunjuk tanah tanpa tindak lanjut, padahal di situ sudah ada hukum lain yang berlaku. Maka, tata ruang sangat penting. Tata ruang ini adalah dasar yang harus melibatkan pemerintah daerah,” jelas dia.
Sadino mengharapkan agar cara kerja Satgas PKH kali ini berbeda dari pendekatan yang diterapkan sebelumnya. Dia menekankan perlunya mematuhi norma-norma dalam kehutanan dengan benar.
“Jika pengukuhan kawasan dilakukan, hak masyarakat yang terdampak harus diselesaikan terlebih dahulu. Contohnya, seperti yang dialami oleh Ketua Aspekpir dan pelaku usaha perkebunan lainnya, yang sudah menjalani transmigrasi dan diberikan hak atas tanah, namun kini tanah tersebut masuk dalam kawasan hutan. Terhadap hak atas tanah seperti SHM, HGU, HGB mesti di-enclave yang harus diselesaikan, apalagi hak yang diberikan oleh pemerintah/ negara yang merupakan hak konstitusi bagi pemegang hak yang dijamin oleh UUD 1945 dan UUPA tahun 1960,“ ujar Sadino.