Medan, Mediaperkebunan.id – Salah satu regulasi perkebunan yang dalam pelaksanaanya menjadi masalah di lapangan dan banyak laporan ke Ditjenbun adalah UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan pasar 42 yaitu kewajiban pemenuhan hak atas tanah. Hadi Dafenta, Ketua Kelompok Hukum, Perizinan dan Humas, Sekretariat Ditjen Perkebunan menyatakan hal ini pada Seminar Nasional dan Field Trip Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia Berkelanjutan yang diselenggarakan Media Perkebunan dan BPDPKS di Medan.
UU nomor 39 tahun 2014 pasal 42 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU disebutkan “Kegiatan Usaha budi daya tanaman perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud dalam 41 ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh perusahaan perkebunan apabila telah mendapat hak atas tanah dan memenuhi perizinan berusaha terkait perkebunan dari Pemerintah Pusat.
Bagaimana dengan kondisi perusahaan perkebunan yang belum memiliki hak atas tanah dengan beberapa kondisi antara lain masih melakukan pembebasan lahan dengan masyarakat, masih proses pelepasan kawasan hutan atau masih berproses di kantor pertanahan? Perusahaan perkebunan yang belum memiliki hak atas tanah dan telah mengajukan permohonan hakbtas tanah diberikan kesempatan untuk menyelesaikan permohonan hak atas tanahnya sampai dengan tanggal 3 Desember 2024.
Perusahaan perkebunan yang kebunnya masuk dalam kawasan hutan agar diproses sesuai peraturan perundangan-undangan bidang kehutanan.UU nomor 39 pasar 42 menyatakan kegiatan usaha perkebunan dapat dilakukan setelah perusahaan mendapat hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan. Jadi bila punya IUP saja sudah bisa operasional. Frasa ini digugat di MK tahun 2015 dan MK menetapkan IUP dan HGU.
Harus ada dua-duanya, pertimbangan hakim adalah tidak mungkin perusahaan perkebunan dengan penguasaan ribuan hektar tidak punya legalitas atas tanah. Legalitas lahan untuk meminimalisir konflik. UU nomor 6 tahun 2023 sudah memasukan hal ini.