Jakarta, mediaperkebunan.id – Harga minyak sawit saat ini sudah berada di luar habitatnya. Biasanya selalu berada dibawah harga minyak nabati lainnya, sekarang malah lebih tinggi. “Anehnya pemerintah tidak berbuat apa-apa,” kata Direktur Eksekutif GIMNI, Sahat Sinaga pada konferensi pers GAPKI.
Menurut Sahat , Indonesia harus punya orang yang sanggup menentukan harga minyak sawit, jangan terus dipermainkan orang dari negara lain. Harga sawit tinggi sekarang sama dengan harga karet tahun 1950.
Waktu itu harga karet mencapai USD8,4/kg. Akibatnya muncul karet sintesis yang bahan bakunya berasal dari minyak bumi dengan proses kimia. Dengan harga USD8,5/kg memproduksi karet sintesis masih ada margin yang cukup tinggi.
“Saya sudah sampaikan pada Menteri Perdagangan Budi Santoso bahwa bapak harus mengambil posisi untuk menentukan harga minyak sawit. Jangan sampai harga ditentukan pialang di bursa komoditi dunia dan bukan kita,” katanya.
Produksi dan produktivitas rendah salah satunya karena banyak kebun perusahaan yag tidak/belum diremajakan. Penyebabnya tidak ada ketenangan dalam berusaha. “Kalau saya sudah remajakan kemudian diambiil alih bagaimana naasibnya. Pemerintah seperti hebat mencari panggung tetapi iklim berusaha jadi masalah,” kata Sahat.
Sahat teringat pidato Wakil Menteri Pertanian Sudaryono di IPOC yang menyatakan sawit ibarat angsa bertelur emas, jadi jangan diganggu. Kalau ada masalah diatasi. Sekarang yang harus dicar bagaimana caranya.
“Jangan semua berteriak akhirnya kacau. Kondisi ini sangat kritis. Kalau tidak dilakukan peremajaan maka produksi akan anjlok dan menciptakan badai PHK di industri sawit,” kata Sahat lagi.