Tanah Laut, Mediaperkebunan.id – Pepatah yang berbunyi “tiada rotan akar pun jadi” mungkin dipakai para peternak ruminansia (kambing dan sapi) dari Desa Martadah Baru, Kecamatan Tambang Ulang, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Khususnya saat mencari solusi untuk mengatasi kelangkaan bahan pangan berupa rumput liar untuk semua hewan ternak mereka.
Cara yang dipakai oleh para peternak di Kabupaten Tanah Laut adalah dengan berupaya membangun keterampilan membuat pakan fermentasi berbahan baku hijauan lokal dan limbah bungkil kelapa sawit. Mereka melakukannya melalui sebuah pelatihan yang digagas oleh Slamet Prayitno selaku Kepala Desa (Kades) beberapa hari yang lalu. Dalam kesempatan itu, Kades Martadah Baru, Slamet Prayitno, berjanji akan mengupayakan bantuan mesin chopper bagi para peternak di Desa Martadah Baru yang berminat membuat pakan ternak fermentasi secara mandiri.
“Kami nanti akan bekerja sama dengan anggota DPRD Kabupaten Tanah Laut untuk mengusahakan bantuan mesin chopper kepada peternak Desa Martadah Baru. Yang penting bapak-bapak benar-benar mau memproduksi pakan fermentasi hasil pelatihan ini”, ungkapnya.
Kades menginginkan peternak di Desa Martadah Baru berkembang sehingga meningkatkan kesejahteraan para peternak. “Kami pemerintah Desa Martadah Baru berkomitmen menjadikan peternak di desa ini lebih maju dan sejahtera,” tegas Slamet.Sementara itu trainer dalam pelatihan itu, Ketua DPD LDII Tanah Laut (Tala) Anton Kuswoyo, seperti dikutip Media Perkebunan, Minggu (15/12/2024), mengatakan pengembangan bungkil sawit menjadi pakan ternak ruminansia dikarenakan semakin menyempitnya area lahan untuk pertumbuhan rumput liar.
Di saat yang sama, kata Anton Kuswoyo, peternak sulit mengarit rumput liar , baik saat musim kemarau maupun musim penghujan di kawasan Tanah Laut. Kalau musim kemarau rumput liar sulit tumbuh, sementara saat musim penghujan justru peternak sulit mengarit rumput liar karena sering banjir.
“Untuk mengatasinya, peternak perlu memiliki keterampilan membuat pakan fermentasi berbahan baku hijauan lokal dan limbah bungkil kelapa sawit,” papar Anton.
Keunggulan pakan ternak yang difermentasi, lanjut Anton Kuswoyo, adalah bisa disimpan dalam waktu lama, bahkan sampai satu tahun. “Selain dapat disimpan dalam waktu lama sehingga peternak tidak perlu mencari rumput tiap hari. Nilai nutrisi pakan fermentasi dapat ditingkatkan, dengan cara menambahkan bahan lainnya seperti bungkil inti sawit dan tanaman indigofera,” ungkap Anton.
Menurutnya, di Tanah Laut terdapat banyak pabrik kelapa sawit yang menghasilkan limbah berupa bungkil inti sawit, menjadi nilai plus tersendiri jika dimanfaatkan untuk campuran pakan ternak. “Bungkil inti sawit ini mengandung protein kasar: 14,6–20,03 persen, lemak kasar: 7,17–10,5 persen, serat kasar: 12–21,75 persen, kalsium (Ca): 0,25–0,64 persen, fosfor (P): 0,45–0,52 persen,” ungkap Anton Kuswoyo.
“Serta satu lagi, juga mengandung energi metabolis sebanyak 2682 Kkal per kilogram (Kg). Kandungan nutrisi tersebut sangat cocok untuk pakan ternak ruminansia,” tutur Anton Kuswoyo lebih lanjut.
Anton juga memaparkan, jika dapat memproduksi pakan ternak sendiri, dengan demikian maka peternak kambing dan sapi jadi lebih mudah dan menguntungkan, menjadi lebih mudah karena tidak perlu repot mencari rumput setiap hari.
“Peternak bisa menyetok pakan untuk jangka waktu tertentu. Menguntungkan karena nilai nutrisi pakan fermentasi lebih baik daripada rumput liar, sehingga hewan ternak jadi lebih gemuk dan sehat,” tutupnya.
Yoga, salah satu peserta pelatihan sangat senang mengikuti pelatihan itu. Ia saat ini memiliki belasan ekor kambing, akan segera mempraktekkan membuat pakan fermentasi untuk hewan ternaknya. “Alhamdulillah, kami mendapat pengetahuan baru tentang cara membuat pakan fermentasi. Kami juga baru tahu bahwa bungkil inti sawit ternyata sangat bagus untuk campuran pakan ternak,” ungkap Yoga.