2016, 1 Maret
Share berita:

Kebun sawit merupakan lokomotof ekonomi pekotaan. Setidaknya 112 triliun rupiah setiap tahun, produk perkotaan dikonsumsi masyarakat kebun sawit pada 190 kabupaten.

Kebun sawit Indonesia yang berkembang di pelosok-pelosok 190 kabupaten, bukan hanya sekadar mesin produksi minyak sawit. Juga bukan hanya menggerakkan perekonomian pedesaan. Kebun sawit juga memutar roda mesin ekonomi perkotaan lebih kencang.

Pada level lokal-regional tidak sulit mengamati bagaimana masyarakat pelaku kebun sawit (keluarga petani sawit, karyawan kebun sawit, dan lainya) menyambung ekonomi kebun sawit dengan ekonomi perkotaan. “Di luar bahan pangan segar, kebutuhan barang-barang dan jasa yang diperlukan oleh masyarakat kebun sawit seperti makanan dan minuman olahan, alat-alat dan furniture rumah tangga, kebutuhan kantor kebun sawit, obat-obatan, kenderaan, alat komunikasi, dan lainya berasal dan dihasilkan dari ekonomi perkotaan,” terang Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung.

Selain itu, Tungkot menambahkan, umumnya setiap akhir pekan (weekend) masyarakat kebun sawit juga “menyerbu” kota-kota terdekat mulai kota kecamatan, kota kabupaten untuk shopping dan wisata kuliner. Bagi masyarakat yang tinggal di kota-kota kabupaten sekitar kebun, weekend adalah saat yang ditunggu-tunggu, masa panen orang kota. Apalagi masa libur sekolah, masyarakat kebun sawit biasanya dimanfaatkan untuk liburan kekota-kota besar bahkan ke pulau Jawa. Maka ekonomi transportasi udara, daerah wisata juga ikut menggeliat.

Pada level nasional, fenomena kebun sawit memutar ekonomi dicerminkan oleh antrean truck–truck di penyebrangan dari pulau Jawa-Bali ke Sumatera dan ke Pulau Kalimantan setiap hari. Antrean truck-truck besar itu membawa produk-produk dari perkotaan pulau Jawa dan Bali untuk dipasarkan antara lain ke sentra kebun sawit pada 190 kabupaten. Bahkan Bank Indonesia pernah meliris hasil analisisnya bahwa ekonomi pulau Jawa dan Bali digerakkan oleh ekonomi pulau Sumatera dan Kalimantan khususnya sentra-sentra sawit.

Baca Juga:  Sorgum Layak untuk PSR

Omzet bisnis ekonomi perkotaan yang diciptakan masyarakat kebun sawit diperkirakan cukup besar. Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (BPS, 2014) misalnya hanya untuk konsumsi keluarga masyarakat kebun sawit saja tidak kurang sekitar Rp 112 triliun setiap tahun. “Oleh karena itu perkebunan sawit bukan hanya inklusif dari segi ekonomi tetapi juga menjadi salah satu lokomotif yang menarik ekonomi perkotaan termasuk pulau Jawa-Bali,” jelas Tungkot.

Sehingga menurut Tungkot, tidaklah heran jika lokomotif ekonomi tersebut masih sedang bertumbuh. Ibarat manusia, lokomotif kebun sawit secara keseluruhan masih umur remaja dan belum memasuki umur dewasa. Buktinya, peningkatan produksi minyak sawit masih bersifat pertumbuhan yang meningkat (increasing return) setiap tahun. “Itu berarti, kemampuan sentra kebun sawit dalam memutar ekonomi kota masih meningkat kedepan. Roda sawit berputar, ekonomi perkotaan menggeliat,” pungkas Tungkot. YIN

Baca juga : Kebun Sawit “Pabrik” Minyak Nabati Paling Hemat Lahan