Sampit, mediaperkebunan.id – Pada ajang Teknis Kelapa Sawit (TKS) dan Field Trip yang digelar di Sampit, Kamis (28/04/2025), Dr. Ir. Rawing Rambang, MP selaku Sekretaris Eksekutif GAPKI Kalimantan Tengah, menyoroti pentingnya program replanting kelapa sawit sebagai bagian dari upaya meningkatkan produktivitas sekaligus mendukung ketahanan pangan dan energi nasional.
Dalam pemaparannya, Rawing menjelaskan bahwa replanting atau peremajaan tanaman kelapa sawit merupakan penggantian pohon tua atau tidak produktif dengan pohon baru yang lebih unggul. Kegiatan ini juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18/Permentan/KB.330/5/2016.
“Replanting kelapa sawit adalah mengganti pohon tua dengan tanaman baru yang unggul, tak hanya itu replanting juga harus dilakukan terhadap tanaman yang produktivitasnya rendah untuk memastikan kebun tetap menghasilkan secara optimal,” jelas Rawing.
Lebih jauh, Rawing menggarisbawahi pentingnya memanfaatkan kemajuan teknologi dalam program peremajaan ini. Menurutnya, dengan adopsi teknologi pertanian presisi dan pemupukan berbasis data, produktivitas sawit nasional bisa didorong lebih tinggi. Ia mencontohkan bahwa di negara maju penggunaan teknologi dalam pemupukan dan pengendalian hama sudah menjadi standar baru, bukan lagi sekadar inovasi tambahan.
“Saat ini sudah berkembang berbagai teknologi dan inovasi terbaru yang mendukung replanting dengan menggunakan GPS, drone, dan berbagai sensor untuk memastikan efisiensi dan akurasi,” tegasnya.
Menyinggung keterkaitan replanting dengan ketahanan pangan, Rawing menekankan bahwa konsep ketahanan pangan di Indonesia mencakup empat komoditas utama yakni beras, jagung, kedelai, dan gula. Meskipun mengintegrasikan tanaman pangan seperti jagung ke dalam perkebunan sawit tampak menjanjikan, Rawing mengingatkan tantangannya.

“Apakah benar sawit bisa membantu ketahanan pangan, misalnya dengan menanam jagung di sela peremajaan? Secara konsep mungkin bisa, tapi praktiknya tidak mudah. Orang sawit belum tentu terbiasa menanam jagung. Tanah bekas sawit yang keras dan karakteristik budidaya jagung yang berbeda menjadi tantangan tersendiri,” paparnya.
Dalam konteks ketahanan energi, Rawing menilai kelapa sawit memainkan peran strategis sebagai sumber bahan baku bioenergi. Dengan berkembangnya program seperti biodiesel B40, peran sawit dalam mengurangi ketergantungan energi impor semakin penting.
“Ketahanan energi itu penting untuk keamanan nasional dan pembangunan berkelanjutan. Sawit bisa memberikan kontribusi besar di sini,” ujarnya.
Rawing juga mengingatkan pentingnya konsistensi kebijakan agar investasi di sektor sawit semakin kuat. “Kalau kebijakan sering berubah, investor menjadi ragu. Negara maju memprioritaskan konsistensi dalam visi misinya” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya alokasi dana untuk riset dan inovasi. “Penelitian itu mahal, tapi wajib. Di negara maju, anggaran riset bisa mencapai 5% dari GDP. Ini menjadi kunci kenapa mereka selalu unggul. Indonesia harus mulai mengadopsi kebijakan serupa untuk sektor sawit dan pertanian,” tambahnya.
Rawing mengajak seluruh pihak baik pemerintah, industri, dan masyarakat untuk bahu-membahu menyukseskan program replanting dan mendukung ketahanan pangan-energi nasional.
“Kita harus terus mendukung replanting, memperkuat penelitian, dan bekerja sama antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat,” pungkasnya