Jakarta, mediperkebunan.id – Rekening milik PT Dharma Satya Nusantara Tbk (Perseroan) tampaknya semakin gendut dan berisi di awal tahun 2025 ini berkat perolehan laba yang terus mengalami kenaikan yang signifikan.
Nah, seperti dikutip Mediaperkebunan.id dari laman resmi perusahaan yang memiliki akronim DSNG ini, Rabu (7/5/2025), hal ini terjadi karena adanya kenaikan harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) berbagai produk turunan kelapa sawit.
Untuk kuartal I 2025 ini saja, kata Andrianto Oetomo sebagai Direktur Utama (Dirut) DSNG, mencatatkan laba sebesar Rp 367 miliar atau tumbuh sebanyak 60 persen bila dihitung secara tahunan atau year-on-year (YoY).
Peningkatan laba DSNG, kata dia, sejalan dengan kenaikan pendapatan sebesar 20 persen yoy sebesar Rp 448 miliar, sehingga mencatatkan total pendapatan sebesar Rp 2,7 triliun.
“Segmen bisnis yang berbasis produk-produk turunan kelapa sawit masih menjadi kontributor utama pendapatan perseroan sebesar 88 persen,” kata Andrianto Oetomo.
Selama kuartal I 2025, ungkapnya, ASP produk turunan kelapa sawit mengalami peningkatan. Misalnya ASP dari minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) naik 27 persen menjadi Rp 14.909 per kilogram (Kg).
Kemudian, ASP minyak inti sawit atau palm kernel oil (PKO) naik 108 persen menjadi Rp 27.349 per Kg, dan ASP inti sawit atau palm kernel (PK) juga naik 101 persen menjadi Rp 10.814 per Kg.
Dengan demikian, tutur Andrianto Oetomo lebih lanjut, Perseroan mampu mencatatkan EBITDA pada kuartal I 2025 sebesar Rp 861 miliar.
Sebagai informasi, EBITDA adalah singkatan dari earning before unterest, taxes, depreciation, and amortization yang artinya pendapatan sebelum bunga, pajak dan amortisasi.
Amortisasi sendiri bermakna proses alokasi biaya aset tak berwujud secara bertahap selama masa manfaatnya. Dalam dunia akuntansi, konsep ini bertujuan mencatat penggunaan aset secara akurat agar mencerminkan nilai sebenarnya dalam laporan keuangan perusahaan.
“Kondisi cuaca kering pada kuartal pertama 2024 yang lalu, baik di wilayah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) yang merupakan wilayah operasional terbesar Perseroan maupun di wilayah Indonesia lainnya, berimbas pada penurunan produksi tandan buah segar (TBS),” beber Andrianto Oetomo.
Akibatnya, kata dia lagi, pasokan CPO, PKO, dan PK juga menurun dan berdampak pada kenaikan harga jual produk kelapa sawit, mengikuti mekanisme supply dan demand.
“Selain itu, biaya produksi yang juga terkontrol dengan baik berdampak positif terhadap tingkat keuntungan atau profitabilitas”, ujar Andrianto Oetomo menambahkan.
Dari sisi operasional, pihaknya mencatat produksi CPO mengalami penurunan sebesar 8 persen yoy, dari 149,5 ribu ton menjadi 137,6 ribu ton.
“Hal ini seiring dengan turunnya pasokan TBS sebesar 8,7 persen yoy, dari 525 ribu ton menjadi 479 ribu ton,” sambung Andrianto Oetomo.
Menurutnya, penurunan volume TBS tersebut turut berdampak pada berkurangnya produksi PK dan PKO masing-masing sebesar 8,1 persen dan 17,2 persen yoy.
Penurunan TBS dan produk kelapa sawit tersebut terutama disebabkan oleh kurangnya curah hujan dalam 10–12 bulan sebelumnya.
Selain itu, sambung dia, proses peremajaan atau replanting yang dijalankan perseroan yang telah menumbang lebih dari 3.000 hektar (Ha) pohon kelapa sawit hingga kuartal I 2025, juga berkontribusi terhadap berkurangnya produksi TBS.