Jakarta, mediaperkebunan.id – Isu mikroplastik belakangan ini semakin mendapat sorotan tajam, khususnya terkait dampaknya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Di Indonesia, tingkat konsumsi mikroplastik diklaim sangat tinggi, bahkan beberapa kabar beredar bahwa teh celup menjadi penyumbang utamanya.
Namun, benarkah kantong teh celup berbahan plastik menjadi kontributor terbesar mikroplastik di negeri ini? Hilman Maulana, Peneliti Pusat Penelitian Teh dan Kina, PT Riset Perkebunan Nusantara melakukan studi pustaka soal ini.
Menurut Zhao dan You (2024) dalam jurnal Environmental Science & Technology, pemetaan konsumsi mikroplastik di 109 negara menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi teratas dengan konsumsi mikroplastik mencapai 15 gram per kapita setiap bulan.
Menariknya, mereka juga mengungkap bahwa di kawasan Asia Tenggara—sebagai salah satu produsen seafood terbesar—sekitar 70,4% mikroplastik yang masuk dalam tubuh manusia bersumber dari konsumsi makanan laut. Data ini menegaskan bahwa polusi plastik di laut berdampak signifikan terhadap rantai makanan, karena ikan, kerang, dan berbagai hasil tangkapan laut lainnya telah terkontaminasi mikroplastik.
Isu bahwa teh celup menjadi penyumbang “terbesar” mikroplastik di Indonesia banyak digaungkan setelah sejumlah studi mengungkap potensi pelepasan mikroplastik dari kantong teh berbahan plastik (misalnya nilon atau PET). Penelitian oleh Hernandez et al. (2019) sering digunakan untuk menyatakan bahwa satu kantong teh plastik dapat melepaskan miliaran partikel mikroplastik dan nanoplastik ke dalam air panas.
Penelitian oleh Hernandez et al. (2019) inilah yang kerap menjadi rujukan utama untuk mendukung klaim tersebut. Dalam publikasinya di jurnal Environmental Science & Technology, Hernandez dan koleganya melakukan serangkaian eksperimen untuk mengetahui sejauh mana kantong teh plastik dapat melepaskan partikel mikroplastik dan nanoplastik.
Mereka memotong dan membersihkan kantong teh, lalu merendamnya dalam air bersuhu 95 °C selama 5 menit. Hasil seduhan (leachate) kemudian dianalisis dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM), Fourier-Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), dan X-ray Photoelectron Spectroscopy (XPS). Berdasarkan hasil analisis, satu kantong teh plastik berpotensi melepaskan sekitar 11,6 miliar mikroplastik dan 3,1 miliar nanoplastik. Selain itu, struktur permukaan serat teh berubah drastis setelah kontak dengan suhu tinggi, yang diduga menjadi pemicu pelepasan fragmen plastik.
Namun, penelitian ini mendapat tanggapan dari Busse et al. (2020), yang mengajukan komentar di jurnal Environmental Science & Technology terhadap temuan Hernandez et al. (2019). Dalam komentarnya, mereka menyoroti bahwa metode identifikasi partikel pada penelitian awal berpotensi menyebabkan overclaim jumlah mikroplastik. Menurut Busse et al., tidak semua partikel yang terdeteksi oleh SEM dapat dikategorikan sebagai mikroplastik atau nanoplastik; sebagian di antaranya diduga merupakan oligomer—molekul hasil degradasi parsial—yang dapat mengkristal selama proses pengeringan sampel.
Dengan menggunakan teknik μ-Raman spectroscopy mengikuti metode Ossmann et al. (2018), Busse et al. mendapatkan estimasi sekitar 5.800 hingga 20.400 partikel mikroplastik (>1 µm) untuk setiap kantong teh. Angka ini 100 kali lebih rendah dibandingkan klaim Hernandez, yang menemukan sekitar 2,3 juta partikel berukuran >1 µm. Selain itu, Busse et al. juga menyoroti pengaruh variasi material dan proses produksi kantong teh yang berbeda-beda, termasuk adanya polimer lain seperti polypropylene (PP) di bagian benang atau label, yang berpotensi menambah kandungan plastik.
Faktor lain yang dipertimbangkan Busse et al. adalah keberadaan oligomer. Melalui analisis LC-MS/MS, mereka berhasil mengidentifikasi senyawa caprolactam dan 1,8-diazacyclotetradecane-2,9-dione dalam larutan kantong teh, yang menandakan adanya degradasi parsial nilon di suhu tinggi. Studi lain (misalnya Tsochatzis et al., 2020) juga melaporkan pelepasan oligomer dari kantong teh berbahan PET. Busse et al. pun mengingatkan bahwa oligomer-oligomer ini dapat tampak seperti mikroplastik ketika mengkristal saat pengeringan, sehingga mungkin terhitung sebagai partikel plastik padahal sifatnya berbeda.
Secara keseluruhan, Busse et al. mengajak pembaca untuk berhati-hati dalam menyimpulkan jumlah mikroplastik yang dilepaskan oleh kantong teh plastik, mengingat kemungkinan besar sebagian partikel yang terdeteksi merupakan oligomer, serta adanya perbedaan proses produksi dan faktor kontaminasi. Mereka menekankan perlunya penelitian tambahan dengan kontrol kontaminasi lebih ketat dan metode analisis lebih komprehensif untuk memvalidasi jumlah mikroplastik yang sesungguhnya.
Fokus penelitian yang dilakukan adalah terhadap teh celup dengan bahan filter plastik (seperti nilon atau PET). Jenis teh celup ini secara konsumsi di Indonesia cukup memiliki perbedaan signifikan, karena mayoritas produsen teh celup di Indonesia menggunakan filter (tea bag) dari kertas. Secara komposisi penyusun bahan teh celupnya sudah berbeda.
Isu mikroplastik dari teh celup memang memerlukan perhatian, tetapi tidak bisa serta-merta diklaim sebagai penyumbang terbesar konsumsi mikroplastik di Indonesia. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pencemaran laut dan produk plastik sekali pakai memberikan kontribusi yang jauh lebih signifikan. Temuan Hernandez et al. (2019) juga telah dikritik oleh Busse et al. (2020), yang menyoroti adanya potensi overestimasi akibat tidak membedakan mikroplastik dengan oligomer.
Dengan demikian, informasi yang menyebutkan “Teh celup adalah penyumbang utama konsumsi mikroplastik di Indonesia” dapat dikategorikan hoaks. Upaya bersama untuk mengatasi polusi plastik—terutama di laut—serta meningkatkan kesadaran publik menjadi prioritas, mengingat mikroplastik bukan hanya isu kantong teh, melainkan masalah lingkungan dan kesehatan global.