Jakarta, Media Perkebunan,id
PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Holding saat ini mempunyai luas areal 1,2 juta ha terdiri dari berbagai macam komoditas. Tidak semua komoditas ini menguntungkan. Tetapi disisi lain tidak semua areal juga dengan mudah diganti komoditasnya meskipun tidak menguntungkan karena faktor agroklimat. Dwi Sutoro, Direktur Pemasaran PTPN III Holding menyatakan hal ini.
“Ada dua hal yang membuat komoditas itu tidak menguntungkan. Pertama karena kita tidak siap masuk ke pasar itu dan kedua adalah cost base kita yang tidak kompetitif dibanding industri sejenis. Dua-duanya harus kita perbaiki,” kata Dwi.
Perbaikan itu dimulai dari penetapan komoditas utama yang berdasarkan biaya produksi memadai juga secara pasar bisa masuk ke sana dan kompetitif dengan industri sejenis. “Orang membeli komoditas karena butuh. Kalau ditempat lain ada barang yang kualitasnya sama dengan harga yang lebih murah maka itu yang akan dibeli tanpa memperhatikan produk siapa,” katanya.
PTPN III Holding sudah menetapkan lima komoditas utama yaitu kelapa sawit, gula, karet, teh dan kopi. Sebenarnya masih ada satu lagi yaitu kakao tetapi skala ekonominya terlalu kecil di sekitar Banyuwangi. Lahannya juga sulit diubah jadi tebu karena berbukit-bukit. Jadi tetap dipertahankan tetapi tidak ekspansi.
“Pada lima komoditas ini kita sangat kuat di hulu. Sekarang bagaimana masuk ke hilir, ini yang mulai akan kita bangun. Pelan-pelan dibangun terutama fokus pada hilir produk kelapa sawit dan gula. Kelapa sawit kita kuat karena salah satu produsen terbesar di Indonesia, sedang gula produksi PTPN adalah 40% produksi nasional dengan 35 pabrik yang tersebar di Medan, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,” katanya.
Setelah Juni atau akhir tahun ini di Sumatera Utara akan diluncurkan produk minyak goreng. Kapasitas industri ini di Sei Mangke mencapai 600.000 ton, atau 20% dari kapasitas total produk CPO PTPN III Holding.
Saat ini 95% produksinya di ekspor dalam bentuk curah yaitu olein dan RBDPO ke berbagai negara tetapi yang terutama ke China dan India. Turn overnya tahun lalu mencapai Rp3,6 triliun sedang tahun ini ditargetkan Rp4,5-5 triliun.
Untuk pasar ritel saat ini sudah ada terutama di Medan juga beberapa kota di Sumatera utara dan Sumatera bagian tengah. Dengan merek Salvaco masuk ke pasar medium. Sedang untuk Jawa sedang dipersiapkan merek yang kualitasnya di atas medium. “Kalau kita masuk ke Jawa dengan minyak goreng medium maka biaya distribusinya terlalu besar,” katanya.
Ritel gula juga sudah diluncurkan dengan brand yang berbeda-beda karena sudah melekat dengan masing-masing PTPN. Di Jawa Timur misalnya ada Dasa Manis yang merupakan produk PTPN X, sedang di Sulawesi Selatan merek Golata (bahasa Makassar dari gulaku) dari PTPN XIV.
Untuk gula dengan pabrik yang tersebar di banyak lokasi maka sangat tidak perlu melakukan sentralisasi satu fasilitas distribusii ke seluruh Indonesia, karena biayanya akan luar biasa. Mereka memasarkan di wilayah masing-masing karena kompetitornya juga berbeda-beda.
Untuk teh, di Bandung Walini sudah mulai bergerak dengan tampil di beberapa mall. Teh ini tidak akan dilepas sebagai produk massal tetapi masuk ke pasar premium .
“Teh ini kita tahu persis kualitasnya bagus. Sekarang bagaimana mengemas kualitas bagus ini supaya sampai ke konsumen. Dengan masuk ke segmen pasar premium otomatis ukuran pasarnya tidak sebesar produk massal,” katanya.