Sambil minum kopi hangat bersama kawan lama, yang sudah lama tak berjumpa, sore tadi kami berdiskusi macam-macam. Topik diskusi akhirnya menukik ke satu fokus, yang tidak mudah dijawab dalam satu halaman tulisan, tetapi sebaliknya juga semua jawaban bisa benar atau bisa juga salah, karena tak ada yang tahu pasti tentang masa depan. Topik tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: Apa prospek ekonomi perkebunan hingga 2025?
Saya kembali menggunakan jurus lama dalam menjawab pertanyaan tersebut. Saya mulai menerangkan bahwa dalam ukuran harga riil, harga komoditas perkebunan itu cenderung terus menurun. Saya kemukakan bahwa harga riil minyak kelapa sawit pada tahun 1970an masih di atas US$ 1000/ton. Harga minyak sawit dewasa ini memang sudah beranjak naik dalam 3-4 bulan terakhir menuju ke angka US$ 800/ton. Tetapi berapa harga riil-nya? Pasti lebih rendah daripada harga nominal terebut. Pola pergerakan harga-harga komoditas perkebunan lainnya berpola sama dengan kecenderungan harga riil minyak kelapa sawit.
Cara kedua saya menerangkan kepada kawan saya tadi adalah apakah data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah perusahaan perkebunan menurun atau meningkat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir? Kecuali perusahaan perkebunan kelapa sawit, jumlah perusahaan perkebunan lainnya berkurang. Di samping sawit, tentu saja perusahaan gula rafinasi berkembang karena perusahaan ini menggunakan bahan baku gula mentah yang tebunya diusahakan di negara lain. Perusahaan perkebunan yang mengusahakan komoditas lainnya dapat dikatakan mengalami jumlah perusahaan yang semakin sedikit.
Apakah prospek ekonomi perkebunan ini akan semakin cerah hingga 2025 atau dalam kurun waktu 8 tahun mendatang? Seperti biasanya, tergantung dari sudut pandang apa yang kita gunakan dalam menjawab pertanyaan tersebut.
Penulis: Agus Pakpahan, Dewan Pakar Media Perkebunan
Berita selengkapnya ada pada Majalah Media Perkebunan Edisi 158 Bulan Januari 2017