Jakarta, Mediaperkebunan.id
Dalam menjalankan fungsinya BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) memiliki tiga fokus utama rencana strategis dalam upaya mendorong kinerja industri sawit Indonesia, yaitu: perbaikan kesejahteraan petani, stabilisasi harga CPO, dan penguatan industri hilir. Eddy Abdurrachman, Direktur Utama BPDPKS menyatakan hal ini pada Media Gathering BPDPKS 2020.
Program dukungan BPDPKS terhadap sektor hulu dan hilir sering kali menjadi bahan perdebatan. Misalnya, prioritas program hulu seperti Peremajaan Sawit Rakyat disandingkan dengan program hilir seperti dukungan insentif biodiesel. Apabila perdebatan ini hanya dilihat dari satu perspektif saja, yaitu alokasi dana, maka akan terlihat timpang, dimana program biodiesel menjadi program dengan alokasi dana tertinggi (70-80% dari total dana kelolaan BPDPKS).
Karena itu, diperlukan sudut pandang lain dalam melihat kebijakan program hulu – hilir. Perlu ada integrasi program hulu dan hilir sawit sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Sehingga dalam pengembangan industri sawit, perlu dilihat kebutuhan industri, dampak multiplier terhadap perekonomian, dan lainnya.
“ Sebagai contoh, industri sawit memerlukan penciptaan tambahan pasar domestik agar produk sawit bisa lebih banyak terserap, salah satunya melalui program mandatori biodiesel. Melalui program tersebut, tujuan untuk stabilisasi harga CPO dan juga ekspor sawit juga bisa tercapai. Tanpa adanya program-program itu, tidak akan ada dana sawit,” katanya.
Padahal, penggunaan dana sawit sawit juga ditujukan untuk pengembangan industri sawit, tidak hanya di sektor hilir, tetapi juga di sektor hulu dalam menjaga produktivitas dan keberlanjutannya baik sebagai bahan pangan, bahan baku industri maupun untuk pemenuhan kebutuhan energi.
Peniadaan program mandatori biodiesel akan berpengaruh kepada stabilisasi harga CPO dan stok menumpuk yang akan mengakibatkan keseimbangan industri sawit dapat terganggu. Begitu juga sebaliknya, tanpa dukungan program Peremajaan Sawit Rakyat, program biodiesel juga akan terancam keberlanjutannya karena terbatasnya pasokan bahan baku sebagai akibat kondisi kebun sawit yang sudah tidak produktif karena rata-rata sudah memasuki usia lebih dari 25 tahun.
“ Itulah sebabnya integrasi program hulu dan hilir diperlukan, sehingga program Peremajaan Sawit Rakyat harus dijalankan, agar kebun mereka semakin produktif sehingga pasokan untuk kebutuhan industri hilir juga tersedia,” kata Eddy.
Masing-masing program memiliki tantangannya sendiri, yang tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi BPDPKS dan pemangku kepentingan industri sawit. Di tahun 2021 tentu tantangan akan semakin besar. Untuk program mandatori biodiesel, di tahun 2021, faktor pergerakan harga minyak dunia memberikan tantangan tersendiri bagi kebutuhan dana insentif biodiesel.
Sedangkan di program PSR, lebih banyak lagi tantangan di tahun 2021, antara lain validitas data lahan dan profil pekebun swadaya, status lahan, kelembagaan petani, akses terhadap dukungan finansial/perbankan, dan kesiapan kelembagaan petani dalam pemenuhan persyaratan PSR. Hal-hal tersebut yang akan menjadi fokus penyempurnaan kebijakan di tahun 2021.
Pada akhirnya dukungan program sektor hulu dan hilir oleh BPDPKS dan pemerintah merupakan prioritas bersama, tidak ada satu program yang lebih penting dari program lainnya. Integrasi pelaksanaan semua program di BPDPKS sangat penting untuk didorong dan koordinasi serta kolaborasi antar pemangku kepentingan menjadi sangat krusial dan penting untuk terus didorong.
Keberlanjutan sawit nasional perlu disupport dengan program PSR yang terintegrasi dengan program riset yang berkualitas, pengembangan SDM yang kompeten, pengadaan sarana dan prasarana yang tercukupi serta penyerapan pasokan CPO yang sesuai melalui penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati dan hilirisasi sawit serta promosi dan advokasi yang terarah untuk diseminasi dan melawan kampanye hitam sawit.