Jakarta, mediaperkebunan.id – Dalam diskusi virtual bertajuk Indonesia Sustainable Coffee Forum 2020, Ketua Dewan Pengurus Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) Irvan Helmi mengakui bahwa dalam 10 tahun terakhir ini konsumsi kopi di Indonesia naik dua kali lipat. Begitu juga dengan impor kopi yang naik 10 kali lipat dan ekspor kopi menurun sekitar 37%. Namun pertumbuhan produksi tidak sebanding, yakni hanya sekitar 3-5%.
Artinya ini menjadi sinyal peluang bagi pelaku kopi. Atas dasar itulah SCOPI memfasilitasi untuk mendorong percepatan kemitraan strategis untuk sektor kopi yang berkelanjutan.
“Ada beberapa dimensi dalam usaha menuju kopi yang berkelanjutan, seperti dimensi perkebunan (pohon, tanah) dengan usia tanaman kopi yang mayoritas sudah menua, dimensi lingkungan hidup yang perlu dilestarikan, dimensi kelembagaan petani, sosial dan ekonomi, dimensi perdagangan, dan dimensi kreativitas hilir yang bisa mengungkit identitas kopi Indonesia,” ujar Irvan.
Rangkaian forum diskusi virtual bertajuk Indonesia Sustainable Coffee Forum 2020 pada 23 – 26 Juni 2020 ini mengumpulkan berbagai pemangku kepentingan sektor kopi seperti pemerintah, pelaku usaha, pendamping lapangan, petani kopi, serta lembaga sosial masyarakat, untuk memperkuat kemitraan berbagai pihak atau public-private partnership dalam mencapai target produktivitas kopi berkelanjutan di Indonesia, serta menjaring inovasi dan aspirasi dalam menjaga stabilitas pasar kopi.
Sebelumnya, Ketua Koperasi Klasik Beans Deni Glen menjelaskan, koperasi yang berdiri pada 2011 sudah memiliki binaan sekitar 3000 petani kopi yang tergabung dalam Paguyuban Tani Sunda Hejo. “Hasil panen kopi petani dibeli koperasi untuk diolah menjadi biji kopi mentah atau green beans,” kata Glen.
Koperasi Klasik Beans memiliki banyak shelter kopi di Jawa Barat. Diantaranya, di Garut (ada tiga), Ciwidey (ada dua), Gunung Puntang, Pangalengan, Ujungberung, Bandung Utara, dan Cianjur. Sedangkan di luar Jabar, shelter Klasik Beans ada di Kintamani (Bali), Flores, Enrekang (Sulsel), Lintong (Medan, Sumut), dan Takengon (Aceh).
“Sebelum pandemi Covid-19, kami memiliki kapasitas produksi sebanyak 5-8 ton green beans perbulan, khusus untuk pasar nasional. Untuk yang pasar ekspor, per musim kita menghasilkan 60 ton, dimana dalam setahun ada satu kali musim,” ujar Glen.
Pasar Ekspor
Menurut Glen, dengan brand produk Kopi Sunda Hejo, Klasik Beans mampu mengguyur pasar ekspor ke negara-negara seperti Prancis, Jepang, Australia, Swiss, dan sebagainya. “Produk kopi kita juga salah satu yang dibeli Starbucks,” kata Glen.
Bahkan, lanjut Glen, pihaknya memiliki hari istimewa yang dinamakan Hari Petani. Di hari itu, seluruh petani binaan Klasik Beans mendapatkan premi dari koperasi. “Itu uang yang kita sisihkan dari setiap kilogram kopi yang mereka jual ke koperasi, semacam produk tabungan yang akan dibagikan kembali ke petani sesuai kilogram kopi yang sudah dijualnya,” ucap Glen.
Hanya saja, Glen mengakui bahwa selama pandemi Covid-19 berdampak besar pada usaha kopinya. “Banyak kedai kopi yang tutup, termasuk yang untuk pasar dunia. Penghasilan kita drop hingga 95%,” ungkap Glen.
Meski begitu, Klasik Beans tetap komitmen membeli hasil panen kopi dari para petani. Dengan sulitnya kopi terserap pasar, maka Klasik Beans pun mau tidak mau harus menambah gudang. “Kita semua berharap pandemi Covid-19 segera berlalu, agar pasar kopi nasional dan dunia kembali bergairah,” kata Glen.